Berita

ByAdmin

UNRIKA BATAM BAHAS RUU KUHAP -KUHP SECARA NASIONAL

Para pimpinan fakultas ilmu hukum yang tergabung dalam Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia (FPPTHI), siang ini membahas penyebab lambatnya ketok palu Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bertempat di Ballroom Cendrawasih, Hotel Golden View, Bengkong diskusi panel yang digagas Pusat Studi Anti Korupsi (PASAK) Unrika Batam tersebut menghadirkan Prof.Dr.Muladi, S.H, Ketua Tim Penyusun RUU KUHP.

Selain Muladi, hadir juga Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI), Catherine Mulyana, SE,SH,MH dan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Taslim Chaniago dipandu moderator Dr. Ahmad Sudiro, SH,MH dari Unrika Batam.

Ketua PASAK Unrika, Mas Subagyo Eko Prasetyo.SH,MH mengemukakan pembahasan kedua RUU itu sangat penting, apalagi bagi mahasiswa yang tengan mendalami ilmu hukum.  Baginya momentum seperti ini agar dapat dimanfaat civitas akademika. Selain akan dapat memahami orientasi pemahamanan ilmu hukum itu sendiri, juga kehadiran Prof Muladi tentu diharapkan mampu memberi rangsangan sikap kritis terhadap mekanisme penerapan hukum pidanan termasuk soal mekanisme beracara.

Muladi menyampaikan KUHP Indonesia saat ini yang berlaku merupakan hasil “Copy”KUHP (wVS) zaman penjajahan Belanda tahun 1886. Diberlakukan per 1 Januari 1918, cerita Muladi, Ketentuan hukum positif peninggalan Belanda itu pun terus berlaku setelah kemerdekaan atas dasar pasal II aturan peralihan UUD 1945.

Kondisi itu, Jelas Muladi sudah tidak cocok dengan era saat ini. Pengaruh KUHP Belanda, katanya masih sangat besar melalui asas Konkordansi, Doktrin dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Belanda sehingga begitu kental Ke-belanda-an nya.

“Banyak peraturan yang dikeluarkan Panglima Tertinggi bala tentara Hindia Belanda yang bertentangan dengan Kedudukan RI sebagai Negara Merdeka,”Katanya menegaskan.

Hingga kini pembahasan masih berlangsung. (cr3)

ByAdmin

DAFTAR NAMA DOSEN/STAFF PENGAJAR FH UNRIKA BATAM

 

 

No.  NIDN/NUP  Nama Dosen  Gelar  Pendidikan  Program Studi
1 1029066401 AHARS SULAIMAN  SH,MH  S-2  Ilmu Hukum
2 1012088401 ALWAN HADIYANTO  SH, MH  S-2  Ilmu Hukum
3 1001048501 DWI AFNI MAILENI  SH,MH  S-2  Ilmu Hukum
4 1001076501 MAS SUBAGYO EKO PRASETYO  SH,M.HUM  S-2  Ilmu Hukum
5 1007018501 PRISTIKA HANDAYANI  SH, MH  S-2  Ilmu Hukum
6 8836010016 RUMBADI SH,MH  S-2  Ilmu Hukum
7 1027078302 RUSTAM  SH,MH  S-2  Ilmu Hukum 
8 1010048703 EMY HAJAR ABRA SH,MH  S-2  Ilmu Hukum
9 1011116602 RAHMANIDAR SH,MH  S-2  Ilmu Hukum
10 1020078704 KARINA PRAMYTHASARI HERMAS AYU KUSUMA WARDANI SH,M.Kn S-2  Ilmu Hukum
11 1030099101 SEFTIA AZRIANTI SH,MH S-2 Ilmu Hukum
12 1015018702 SYARIFA YANA SH,MH  S-2  Ilmu Hukum
13 1016057401 TRI ARTANTO SH,MH  S-2  Ilmu Hukum

 

ByAdmin

ORGANISASI FAKULTAS HUKUM

STRUKTUR ORGANISASI FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU KEPULAUAN BATAM
DEKAN : rustam-215x300RUSTAM, S.H.,M.H.
WAKIL DEKAN : rumbadiRUMBADI, S.H.,M.H.
KA. PRODI ILMU HUKUM  :  SYarifa-Yana-Batam-IndependentSYARIFA YANA, S.H.,M.H.
SEKR. PRODI ILMU HUKUM :  ALWAN-214x300ALWAN HADIYANTO, S.H.,M.H.
ByAdmin

PENEGAKKAN HUKUM ALIRAN SESAT DI INDONESIA TINJAUAN UNDANG UNDANG PNPS NO.1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA

Emy Hajar Abra

Dosen Tetap Prodi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam

 

ABSTRAK

Aliran sesat menjadi problematic tersendiri dalam penegakkan hukum di Indoensia. Undang Undang PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang sudah sekian lama hadir, nyatanya belum mampu dimaknai dengan bijak oleh banyak kalangan. Permasalahan kemudian muncul, ketika para pihak yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan mengatakan bahwa undang undang tersebut telah melanggar Konstitusi. Sekalipun permohonan yang di ajukan oleh para pihak ditolak oleh Majelis Hakim Konstitusi, namun yang sering kali dilupakan adalah bahwa negara kita adalah negara hokum, hal tersebut dengan tegas dituangkan UUD 1945 pasal 1 ayat 3, artinya bahwa tiap individu tanpa terkecuali harus tunduk pada tiap aturan yang berlaku. Selain itu, yang menjadi dasar argument bagi mereka yang kontra terhadap undang undang aliran sesat adalah, Hak Asasi Manusia. Mereka yang tidak setuju terhadap undang undang aliran sesat, seringkali berargumen bahwa undang undang tersebut telah melanggar hak asasi seseorang, nyatanya pasal 28J UUD 1945 membatasi kebebasan tersebut dengan sangat bijak. Maka bebas itu bukan tanpa batas sebagaiman ditafsirkan, namun Undang Undang dihadirkan sebagai pagar pembatas demi terciptanya keadilan dalam bernegara.

  1. I.                   PENDAHULUAN
  2. A.    Latar Belakang Masalah

Kasus aliran sesat memang tidak begitu marak seperti beberapa tahun lalu, sekalipun demikian, tulisan ini hadir dalam bentuk “kehatia-hatian” hukum, karena biar bagaimanapun,  kasus aliran sesat sudah semestinya menjadi perhatian tersendiri, mengingat hal ini berhubungan dengan kebebasaan beragama dan keharmonisan dalam bernegara. Pasalnya penodaaan agama bukan kasus yang datang dan tenggelam. Peristiwa ini ada, hanya saja dia muncul dipermukaan ketika telah menjadi kekerasan atau bahkan menelan korban. Oleh karena itu, penulis menggunakan kata “kehati-hatian” hukum, karena peristiwa ini harus dimaknai serius oleh pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk dapat bergerak lebih cepat sebelum adanya konflik yang berkepanjangan. Selain itu pula, kehati-hatian hokum tersebut mengingat banyak pihak yang pro dan kontra sejak dari awal pembentukan Undang Undang PNPS No 1 Tahun 1965 ini hingga sekarang.

Pada penjelasan Undang Undang No1 tahun 1965 menjelaskan bahwa, hadirnya undang-undang ini atas kegelisahan bermunculannya aliran-aliran kepercayaan yang menganggu agama lain, oleh karenanya pemerintah merasa perlu dalam menjaga kemurnian dan kebebasan beragama yang kemudian pembatasannya di atur dalam Undang Undang. Jika dilihat dari politik hukum Undang Undang tersebut, maka jelas bahwa pemerintah menaruh perhatian yang sangat baik atas perlindungan agama., agar tidak disimpangi oleh ajaran-ajaran lain yang keluar dari ajaran pokok suatu agama tertentu.

Sekalipun Indonesia menganut system politik yang demokratis, namun tidak menjadikan nilai-nilai demokrasi itu berjalan tanpa payung hukum yang kuat. Konflik agama yang sering terjadi dan berkembang ini tentunya membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah dan juga tentunya masyarakat sebagai salah satu pelaku dalam bernegara. Kejadian aliran kepercayaan yang terus-menerus dan memakan korban yang tidak sedikit tentunya bukan hal yang patut dibiarkan berlarut-larut. Apalagi dari kejadian ini justru menjadikan masyarakat bermain hakim sendiri, seperti pada pembakaran rumah masyarakat, tempat ibadah, bahkan pembunuhan, keadaan main hakim sendiri tersebut, memaknai bahwa fungsi negara sudah mulai menghilang. Penyimpangan agama yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan aliran sesat ini, semakin tahun justru berkembang semakin banyak. Fakta ini bisa dilihat dari bermunculnya aliran sesat di masyarakat. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. 50 Di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat.[1]

Hal ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama. Penulis menggunakan kata bagian “paling hitam”, karena penyebaran agama yang jauh dari pada pokok dasarnya ini menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya pada masyarakat luas, mereka telah mempercayai salah satu agama tertentu, tiba-tiba didatangi oleh orang atau sekelompok orang yang mengaku se-agama, namun dengan pemahaman dan pelaksanaan yang jauh berbeda dari pokok ajaran tersebut. Tentunya itu menjadi goncangan yang dapat berakibat luas pada keharomonisan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karenanya selain dari pada Undang Undang tentang aliran sesat, kiranya penting pemerintah untuk mengatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika suatu ajaran mempunyai definisi atau cara beragama yang berbeda dari yang di akui pada kebanyakan masyarakat lainnya.

Sekitar akhir tahun 2009 lalu, beberapa kalangan mengajukan gugatan atau permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon tersebut antara lain: LSM Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Desantara, YLBHI dan Pemohon perorangan, diantaranya: Abdurahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq, namun kemudian dalam putusannya, permohonan tersebut di tolak secara keseluruhan oleh Majelis Hakim Konstitusi.

Penolakan tersebut tentunya menjadi sejarah tersendiri bagi ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam bidang keagamaan, hal ini karena Undang Undang yang sudah cukup lama itu, justru masih berlaku dan mendapatkan perhatian yang baik dalam pernafsirannya oleh majelis hakim kosntitusi, sehingga majelis menilai bahwa, undang undang tersebut masih berlaku dan konstitusional artinya tidak bertentangan dengan UUD 1945.

ByAdmin

KEDUDUKAN REKONSTRUKSI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA (Studi Penanganan Kasus Perkara Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Padang)

Rustam Efendi

Dosen Tetap Prodi Ilmu Hukum  Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan

 

  1. 1.       Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, oleh karena itu sudah sepantasnya selalu menjunjung tinggi keadilan dan ketertiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan suatu aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa berwenang  dengan tujuan untuk mengatur, melindungi, menjaga dan memelihara kehidupan warga negaranya. Pelanggaran terhadap aturan-aturan atau ketenuan itu, maka sudah barang tentu penyelesaiannya adalah berdasarkan hukum-hukum positif yang telah dibuat.Hukum positif itu sendiri adalah hukum yang berlaku sebagai hukum bagi masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu.Sebagai sumber dari hukum positif pada umumnya adalah undang-undang, kebiasaan, ilmu pengetahuan hukum dan jurisprudensi.

Hukum dari bermacam-macam jenisnya, salah satu diantaranya adalah hukum pidana.Dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana substantif (materil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formil) disebut hukum pidana.Hukum acara pidana sendiri berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materil), sehingga disebut hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil atau setidak-tidaknya mendekati, ialah kebenaran yang sebenar-benarnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelangaran hukum,dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Pada prakteknya, dalam sidang pemeriksaan di pengadilan, selain menggunakan alat bukti-alat bukti yang telah dijelaskan dalam Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP, biasanya pada kasus-kasus tindak pidana tertentu, seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan lainnya, terdapat suatu alat bukti atau semacam petunjuk lain yang biasa disebut sebagai rekonstruksi tindak pidana. Maksud diadakannya adalah memperkuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh Penyidik, selain itu juga untuk membuat terang dan memberikan gambaran tentang terjadinya suatu tindak pidana dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka melakukan tindak pidana, sehingga lebih meyakinkan kepada pemeriksa tentang kebenaran keterangan tersangka ataupun saksi. Ini dilakukan penyidik sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 7 ayat (1) huruf  j,

“Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”.

Pelaksanaan rekonstruksi disamping harus dilakukan di tempat kejadian perkara (TKP), atau ditempat lain jika keadaan tidak memungkinkan, juga harus dibuatkan berita acara yang disebut Berita Acara Rekonstruksi yang dilengkapi dengan foto copy adegan yang dilakukan selama rekonstruksi berlangsung. Foto-foto tersebut merupakan kelengkapan yang tak dapat dipisahkan dari berita acara rekonstruksi tersebut.

Dalam prakteknya, ternyata rekonstruksi hampir selalu dipakai oleh penyidik dalam kasus tindak pidana tertetu. Namun, pertanyaanya adalah sejauh manakah  kedudukan rekonstruksi tindak pidana tersebut dapat memperkuat alat bukti yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang nantinya akan digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam membuat surat dakwaan ataupun majelis hakim dalam menjatuhkan putusannya terhadap terdakwa.

 

B. Pengertian Rekonstruksi

Dalam membuat terangnya suatu tindak pidana, diperlukan suatu tekhnik pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi, tujuannya adalah sebagai penjabaran dari petunjuk pelaksanaan tentang proses penyidikan tindak pidana., serta di dalam pelaksanaan pemeriksaan tesangka dan saksi di depan penyidik secara tekhnis telah melakukannya dengan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Salah satu tekhnik pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi seperti yang diungkapkan di atas adalah dengan melakukan rekonstruksi dalam rangka melaksanakan penyidikan tindak pidana. Dimana istilah rekonstruksi di bidamg penyidikan tersebut mulai dikenal secara luas oleh masyarakat melalui berbagai liputan di media-media massa.

Pengertian rekonstruksi secara umum adalah peragaan kembali kejadian perkara di TKP, yang pelaksanaanya dilakukan berdasarkan segala fakta yang terungkap sebagai hasil penyidikan. Sedangkan pengertian rekonstruksi secara khusus adalah:

“Salah satu tekhnik pemeriksaan dalam rangka penyidikan, dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka melakukan tindak pidana dan atau pengetahuan saksi, dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang terjadinya tindak pidana tersebut dan untuk menguji kebenaran keterangan tersaangka atau saksi sehingga dengan demikian didapat keterangan tentang benar tidaknya tersangka tersebut sebagai pelaku dan dituangkan dalam Berita Acara Rekonstruksi”