Oleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)
Batampos, 20 Februari 2016. Permasalahan hukum tak hentinya terus meregenerasi. Satu selesai atau bahkan belum, muncul lagi generasi masalah selanjutnya. Topik hari ini yang begitu hangat adalah terkais status tersangka dari Novel Baswedan dan juga Abraham Samad serta Bambang Widjojanto. Tapi kelihatannya, pembahasan tentang Bovel Baswedan lebih dominan dalam menghiasi halaman di media cetak ataupun online, apalagi jika dikaitkan dengan isu barter dan lain sebagainya. Beberapa pihak mengatakan kasus Novel Baswedan telah ditutup, diberhentikan,surat dakwaan dicabut, ataupun telah dikesampingkan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa mencuatnya kasus yang melibatkan Novel Baswedan sebenarnya telah lama terjadi. Namun lebih tenar lagi ketika KPK mentersangkakan Komjen Pol. Budi Gunawan, dan tak lama setelah itu, kasus ini kembali menaiki tangga berita di Indonesia. Kriminalisasi terhadap KPK, itulah headline berita sehari-hari. Kepolisian menyangkal, namun masyarakat masih tak percaya.
Penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut telah selesai, dan kini bola itu ada ditangan kejaksaan sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan penuntutan. Sampai di kejaksaan, sebagai respon atas tanggapan masyarakat yang begitu meluas, ada niat bahwa, kasus Novel Baswedan akan dihentikan. Lalu bagaimana sebenarnya hukum acara pidana kita melihat hal itu?
Dalam Pasal 140 (2) huruf a KUHAP menyatakan “ dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”. Itulah kira-kira kewenangan yang dimiliki oleh penuntut umum ketika akan menhentikan suatu perkara.
Lalu bagaimana jika suatu kasus telah masuk ke pengadilan. Dalam Pasal 144 ayat (1) KUHAP berbunyi “ penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya”.
Melihat bunyi pasal-pasal dalam KUHAP di atas, bagaimana itu jika dihubungkan dengan kasus Novel Baswedan. Beberapa pihak menyatakan bahwa penghentian tehadap kasus Novel dapat dilakukan dengan menggunakan argumentasi Pasal 144 ayat (1) KUHAP seperti telah dibunyikan di atas, tinggal menyebutkan alasannya. Namun jangan lupa bahwa, dalam Pasal 144 masih terdapat ayat (2) nya yang menyatakan “pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai”.
Pertama, apabila argumentasi penghentian kasus Novel dilihat dari persepsi Pasal 144 (1) KUHAP, mungkin saja dapat dilakukan oleh penuntut umum, karena batas waktu selambat-lambatnya tujuh hari belum terlewatkan mengingat sampai saat ini belum dijadwalkan kapan sidang pertama kasus itu akan dilaksanakan. Jadi perubahan untuk tidak melanjutkan penuntutan terhadap kasus ini secara prosedur masih terbuka lebar, tentunya dengan alasan-alasan yang sah menurut hukum.
Kedua, lalu apa kewenangan penuntut umum dalam hal tidak melanjutkan penuntutan terhadap kasus Novel. Melihat isi Pasal 140 (2) huruf a sebagaimana disebutkan di atas, jelas bahwa penuntut umum diberikan kewenangan untuk menghentikan penuntutan apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum. Lalu, dapatkah penutut umum menghentikan penuntutan sesuai dengan alasan-alasan tersebut.
Jika alasan penuntut umum menghentikan penuntutan terhadap kasus Novel dengan alasan karena tidak terdapat cukup bukti. Maka menjadi pertanyaan besar, karena selama ini, baik dari pihak kepolisian sendiri maupun dari pihak korban, bukti terhadap perkara ini dianggap telah cukup. Bahkan kita melihat tayangan disalah satu televisi swasta dijelaskan secara gamblang bagaimana cara Novel melakukan penganiayaan terhadap si korban. Kedua, apabila alasan tidak terdapat cukup bukti dijadikan alibi untuk menghentikan kasus Novel, mengapa sebelumnya kejaksaan tidak mengembalikan berkasnya kepada penyidik untuk dilengkapi. Dengan demikian dapat dideskripsikan bahwa artinya kasus itu telah P21. Jadi penghentian penuntutan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti untuk kasus dengan tersangka Novel Baswedan, sangat tidak mungkin untuk dilakukan.
Jika penghentian penuntutan kasus Novel dengan dasar bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, sulit kita untuk menerimanya. Bagaimana itu bukan tindak pidana jika kepolisian sendiripun telah yakin bahwa alat bukti telah cukup, korban yang telah mengaku, dan beberapa rekan dari Novel sendiri yang bersaksi, terlebih bahwa kasus tersebut telah P21. Jadi, apabila penghentian penuntutan kasus Novel karena peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, sangat tidak mungkin untuk dilakukan.
Lalu bagaimana jika penghentian penuntutan dengan alasan demi hukum, apa klasifikasinya. Sedangkan alasan demi hukum sampai saat ini masih menjadi perdebatan, apa makna demi hukum tersebut. Bagir Manan (Mantan Ketua MA) menyatakan demi hukum artinya adalah demi kepentingan tujuan hukum, contohnya ketertiban umum, atau rasa keadilan. Bila kasus tersebut dipaksakan, dikhawatirkan tujuan hukum tidak akan tercapai. Lain Bagir Manan, lain lagi M. Yahya Harahap, ia menggunakan alasan yang cukup simpel untuk menafsirkan makna demi kepentingan hukum, yaitu bila tersangka meninggal dunia, nebis in idem, dan perkaranya telah daluwarsa. Hal yang sama juga disampaikan oleh Moch. Faisal Salam (mantan Oditur Militer) Oleh karena itu dengan melihat komentar yang disampaikan M. Yahya Harahap, penghentian penuntutan demi hukum, sangat tidak masuk akal untuk dilakukan, kecuali dengan menunggu berlama-lama didiamkan sampai kasus tersebut memasuki masa daluwarsa.
Lalu bagaimana sebaiknya cara menyikapi kasus Novel Baswedan. Salah satu asas dalam penuntutan adalah asas oportunitas, dimana ada kewenangan untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi di instutusi kejaksaan. Apa yang dimaksud kepentingan umum. Dalam penjelasan Undang-Undang Kejaksaan dijelaskan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Menurut Penulis, jika kejaksaan berniat untuk menghentikan kasus Novel Baswedan, maka tidak ada jalan lain selain dengan menggunakan kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Agung yaitu dengan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Setidaknya ada beberapa alasan, pertama, apabila dalil yang digunakan dalam penghentian kasus Novel dengan dasar Pasal Pasal 140 (2) huruf a KUHAP karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum (apapun pengertian ditutup demi hukum) yang dimiliki oleh penuntut umum, kita dapat merujuk ke Pasal 140 ayat (2) huruf d, bahwa suatu saat perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila ditemukan alasan-alasan yang baru. Kedua, terlepas benar tidaknya kasus ini, tapi jelas bahwa diangkatnya kasus Novel ini adalah karena ada sesuatu yang melingkarinya. Begitu miris kita melihat apabila kasus tersebut dibuka tutup kembali karena seolah-olah ada “kepentingan” yang memaksa didalamnya.
Dengan demikian tidak ada cara lain bagi institusi kejaksaan, selain dengan menyerahkan kasus Novel Baswedan ini kepada Jaksa Agng dengan keweanngan yang dimilikinya agar perkara tersebut dapat dikesampingkan demi kepentingan umum dan tidak akan pernah untuk dibuka kembali. Demikian juga mungkin dapat dilakukan terhadap kasus yang membelit mantan komisioner KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.