Fakultas Hukum UNRIKA Opini Pemberantasan Korupsi Tanpa Ujung

Pemberantasan Korupsi Tanpa Ujung


pas foto

Oleh : Rustam (Pengajar di Fakultas Hukum)

Batampos, Kolom Opini (23 Januari 2015). Persoalan hukum memang menarik untuk dibahas. Terlebih khususnya persoalan korupsi. Hal itu mungkin disebabkan karena masalah korupsi tersebut ada dan nyata sekali terjadi disekitar kita dalam kehidupan sehari-hari. Tiap hari kita mendengar dan membaca korupsi yang terjadi, dari level lokal hingga nasional. Itu baru yang terbongkar, kita masih bisa mengatakan, mungkin masih ada ratusan bahkan ribuan kasus korupsi yang hingga saat ini belum terungkap. Dan itulah yang menjadi kewenangan KPK, kepolisian dan kejaksaan, dan tentunya peran serta masyarakat untuk mengungkapnya.
Berita terbaru mengenai korupsi dan masih hangat-hangatnya adalah ketika calon Kapolri tunggal yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejadian ini sama halnya saat Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Demokrat dan Menteri Pemuda dan Olahraga dijadikan tersangka oleh KPK, maka beritanya menggema menjadi pembicaraan
nasional. Jika ditarik lebih jauh, persoalan korupsi sebetulnya bukan masalah baru. Verenigde Oost Indische Compagni (VOC) sebagai salah satu kongsi dagang Belanda yang telah menjajah Indonesia, bangkrut dan bubar salah satunya disebabkan karena perilaku korup para pegawainya. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Tentu ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Namun yang jelas, pencegahan dan penegakan hukum terkait korupsi harus selalu ditingkatkan. Disini saya akan mengungkapkan sedikit upaya yang dapat dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
1. Intensifkan Supervisi. Lord Acton mengatakan, the power tends to corrupt,and absolute power corrupts absolutely. Pelaku korupsi mayoritas dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan, baik kekuasaan dalam lingkup kecil maupun yang lebih besar. Dengan adanya kekuasaan,
mereka bisa mengendalikan dan melakukan apapun yang diinginkan. Faktor kekuasaan bisa menjadi lebih berbahaya ketika para bawahan mendiamkan apa yang terjadi di lingkungannya. Oleh karena itu harus ada pengawasan optimal yang dilakukan oleh lembaga yang berhak untuk itu. Bahkan supervisi dilakukan bukan hanya oleh lembaga formal, masyarakatpun harus turut andil dengan
cara melaporkan apakah ke KPK, kepolisian maupun kejaksaan ketika melihat indikasi adanya tindak pidana korupsi. Supervisi juga harus diintensifkan
ketika ada proyek-proyek yang tengah dilakukan, misalnya melalui audit-audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Oleh karena itu, dalam supervisi juga harus ada political will yang kuat dari penguasa dalam pemberantasan korupsi.
2. Putusan Hakim Harus Menyentuh Level Maksimal Sanksi. Putusan hakim yang rendah sedikit banyaknya menurut penulis sangat berpengaruh dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Sebagaimana dalam kasus korupsi, hal yang diutamakan sebenarnya bukan efek jeranya, tapi tujuan akhirnya bagaimana agar tidak ada pelaku lain yang melakukan tindak pidana korupsi. Banyak kasus korupsi yang terjadi, terlebih di daerah yang jauh dari hingar bingar media, putusan yang dijatuhkan terkadang relatif rendah. Tak heran kita sering mendengar suatu pernyataan masyarakat awam “enak ya korupsi 1 miliar, dipenjaranya 3 tahun. Dipotong masa tahanan, remisi, dan nanti mengajukan pembebasan bersyarat. Paling cuma 1 tahun aja dia dipenjara”. Memang bukan kesalahan hakim apabila putusan yang dijatuhkan relatif rendah, karena kita mengetahui dalam sanksi untuk sebagian pasal tindak pidana korupsi ada hukuman maksimal dan minimal. Oleh karena itu, tidak ada salahnya mulai dari sekarang, apabila fakta-fakta di persidangan telah terpenuhi, jatuhkan putusan yang menyentuh level maksimal hukuman terhadap pelaku korupsi. Bahkan apabila unsur keadaan tertentu seperti dalam UU Tipikor, hukuman mati pun dapat dijatuhkan.
3. Maksimalkan Asset Recovery. Asset recovery sangat berpengaruh dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Penulis pernah melakukan penelitian dalam masalah ini. Kadang kita melihat dan membaca putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa korupsi terkait dengan uang yang dikorupsinya adalah harus mengganti kerugian negara, dan apabila dalam waktu sekian bulan tidak dibayarkan, maka akan diganti dengan kurungan selama sekian bulan. Putusan itu memang tidak keliru, namun asset recovery menurut penulis sama pentingnya dengan hukuman penjara yang dijatuhkan. Sebagai contoh , penulis pernah membaca dalam sebuah tulisan, negara Filipina yang dalam upaya
pengembalian aset saja, membutuhkan waktu 18 tahun untuk menarik kembali dana sebesar USD 624 juta hasil penyelewengan uang negara oleh mantan Presiden Ferdinand Marcos di sebuah bank di Swiss. Bagaimana dengan Indonesia? Seharusnya, ketika penyidik melakukan penyidikan, sita seluruh harta yang ada hubungannya dengan kasus tersebut. ketika nanti terbukti, maka pengembalian asset telah dan/atau mulai dilakukan. Atau apabila diperlukan, lakukan gugatan secara perdata. Karena dalam tindak pidana korupsi, bukan hanya memenjarakansi koruptor sebagai  bentuk pertanggungjawaban pidana, namun bagaimana agar uang rakyat untuk sekolah, untuk kesehatan, untuk membangunjembatan, dan kepentingan lainnya berhasil terselamatkan.
4. Alokasikan Anggaran yang Cukup. Masalah anggaran menjadi penting ketika dikaitkan dengan penegakan
hukum korupsi di daerah-daerah terpencil, yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan. Penulis tidak mengatakan bahwa kepolisian dan kejaksaan enggan menyidik kasus korupsi karena anggarannya yang terkadang kurang. Namun yang dititikberatkan adalah, ketersediaan anggaran yang kurang akan menjadi hambatan dan kendala dalam penegakan korupsi. Kepulauan Riau sebagai propinsi yang memiliki ratusan pulau, memiliki satu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berkedudukan di Tanjungpinang. Dapat kita membayangkan bagaimana seandainya
jika ada kasus korupsi yang terjadi diwilayah Kabupaten Natuna ataupun Anambas, maka harus bolak balik ketika proses persidangan akan dilakukan, apalagi jika dalam kasus tersebut terdapat puluhan saksi dan semuanya berkedudukan di kedua kabupaten tersebut. Oleh karena itu, ketika Penulis melakukan penelitian kerjasama KPK dan Universitas Riau Kepulauan dengan tema “Efektifitas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, salah satu pertimbangan yang diberikan kepada KPK adalah agar dibentuk lagi Pengadilan Tipikor di Propinsi Kepulauan Riau di luar Tanjungpinang.
5. Lakukan Pembuktian Terbalik. Sebagian orang beranggapan bahwa pembuktian terbalik atau ada pakar yang mengatakan pembalikan beban pembuktian, bertentangan dengan asas hukum presumption of innocence, dan asas hukum lainnya. Dimana dalam pembuktian terbalik, seorang tersangka langsung didakwa telah melakukan perbuatan
korupsi, dan si tersangka diberikan hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi dalam hal ini, beban pembuktian diberikan kepada tersangka, berbeda dengan praktek selama ini, dimana penyidik bersusah payah mencari alat bukti (minimal 2) tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh si pelaku. Jika dikaji secara mendalam, korupsi sebagai extra ordinary crime, maka penanganannya juga harus luar biasa. Dan langkah efektif yang dapat diambil tentunya adalah dengan cara pembuktian terbalik. Namun tentunya perlu dibuat undang-undang (UU) khusus tentang bagaimana tata cara pembuktian tersebut dilakukan, mengingat dalam UU Pemberantasan Tipikor dan UU hukum acara lainnya tidak mengatur secara rinci hal itu. Dengan pembuktian terbalik, semua orang khususnya pegawai negeri seperti disebut dalam UU Tipikor dan para penyelenggara negara lainnya, apabila terdapat ketidakwajaran terhadap harta yang dimiliki maka dapat langsung dituntut secara pidana tanpa harus mengumpulkan alat-alat bukti terlebih dahulu. Namun sekali lagi harus dibuat undang-undang khusus yang mengatur hal tersebut.
6. Pengajaran Pendidikan Anti Korupsi. Mulai saat ini, demi terselamatkannya generasi penerus masa depan bangsa, sudah sepantasnya memasukkan dan mengajarkan tentang wajibnya
materi pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi diseluruh Indonesia. Melalui cara ini, manfaat pemberantasan korupsi yang dilakukan bukan untuk saat sekarang, tapi diharapkan untuk puluhan tahun yang akan datang.
7. Peran Serta Masyarakat. Dalam UU Tipikor telah secara jelas diatur bagaimana peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bahkan bilamana perlu, negara dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah membantu hal tersebut. Namun yang perlu ditekankan adalah, adanya perlindungan hukum yang maksimal oleh negara terhadap si pelapor. Karena persoalan korupsi bukan persoalan sepele, ia banyak dilakukan oleh para white color crime, dimana mereka mempunyai kekuatan jaringan dan pengaruh luar biasa yang dapat membahayakan kehidupan si pelapor. ***

Related Post