Berita

ByAdmin

Menilik Putusan Praperadilan Hakim Haswandi Versus UU KPK

pas foto

Oleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Batampos, Kolom Opini. Indonesia saat ini boleh dikatakan sedang dalam tahap Over News, dimana berita di tanah air tidak henti-hentinya berproses. Komjen Budi Gunawan belum usai, kasus Novel Baswedan menyeruak, diiringi dengan munculnya prostitusi online plus prostitusi yang melibatkan beberapa artis, lalu tak lama kemudian muncul beras plastik, dan sekarang ini yang paling menarik, kalahnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)  dalam gugatan Praperadilan yang dilakukan oleh Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo.

Hakim praperadilan dalam perkara itu, Haswandi, dalam putusannya, salah satu poin pertimbangannya adalah bahwa secara administrasi penyelidik dan penyidik KPK dalam kasus Hadi Poernomo adalah tidak sah. Hakim menjelaskan bahwa penyelidik dan penyidik KPK sesuai dengan UU KPK haruslah berstatus sebagai penyelidik atau penyidik di instansi sebelumnya baik itu Polri atau Kejaksaan. Sedangkan penyelidik dalam kasus Hadi Poernomo yaitu Dadi Mulyadi dan dua penyelidik lainnya, bukan merupakan penyelidik sebelum diangkat menjadi penyelidik KPK, maka, tindakan penyelidikan yang dilakukan tidaklah sah. Sementara itu Ambarita Damanik, penyidik yang menangani kasus Hadi, merupakan penyidik Polri yang sudah diberhentikan secara hormat dari institusi Polri pada 25 November 2014. Dengan pemberhentian tersebut, hakim berpendapat bahwa Ambarita juga sudah kehilangan status penyidik yang melekat pada dirinya sehingga segala tindakan penyidikan yang dilakukan olehnya dianggap batal demi hukum.

Memang dalam KUHAP disebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat Polri, sedangkan Penyidik adalah Polri dan PPNS. Lalu muncul pertanyaan, apakah penyelidik dan penyidik KPK itu harus selalu dari Polri, dan jika bukan, bertentangankah dengan KUHAP?

Pertama, dalam hukum pidana dikenal asas Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki). Lebih tinggikah KUHAP sehingga harus mengesampingkan UU tentang KPK. KUHAP merupakan produk hukum jaman orde baru dengan nama lengkap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sedangkan UU tentang KPK adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dari namanya saja kita dapat melihat bahwa keduanya merupakan ketentuan yang sama, yakni undang-undang yang artinya keduanya sama-sama dibentuk oleh DPR bersama Pemerintah. Berlaku asas seperti tersebut di atas ketika suatu peraturan perundang-undangan yang sifatnya vertikal, sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu kedua ketentuan tersebut (KUHAP dan UU KPK) adalah sejajar, tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah. Menurut hemat Penulis jika hakim menyandarkan bahwa penyelidik dan penyidik di KPK tidak sah dengan dalih melanggar ketentuan Pasal 1 KUHAP, adalah keliru.

Kedua, ada asas juga yang berbunyi Lex specialis derogat legi generali, adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa ketentuan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum. KUHAP merupakan hukum acara pengganti Het Herziene Inlandsch Reglement, yang mengatur ketentuan pidana formil dan menjadi patokan para aparat penegak hukum dalam menegakan hukum dan keadilan. KUHAP tidak hanya mengatur satu institusi, namun mengatur secara global dan umum institusi penegak hukum yang terjalin dalam suatu system yang bernama system peradilan pidana, salah satunya subsistem kepolisisan yang didalamnya berisi penyelidik dan penyidik yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Sementara itu, UU KPK lahir bahwasanya maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi sehingga harus dibentuk lembaga yang namanya KPK yang kebetulan sesuai amanah undang-undang salah satu wewenang yang dimilikinya yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Berbeda dengan penyelidik dan penyidik Polri yang wewenangnya lebih luas,meliputi seluruh tindak pidana,  penyelidik dan penyidik KPK hanya berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan  terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang berhubungan dengan korupsi. Dengan kata lain, walaupun keduanya sama-sama penyelidik dan penyidik, namun berbeda dari segi perbuatan pidana yang ditanganinya. Jelas kita mengatakan bahwa dengan lahirnya UU KPK, lahir ketentuan yang sifatnya lebih khusus dibandingkan KUHAP yang sifatnya lebih umum.

Lalu bagaimana dengan pertimbangan hakim Haswandi bahwa penyelidik itu harus dari Polri sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Sesuai dengan asas hukum Lex specialis derogat legi generali di atas, menurut hemat penulis keliru jika penyelidik dan penyidik KPK itu harus dari Polri. Justru sebaliknya, dengan lahirnya UU KPK, maka ketentuan apapun yang ada didalamnya telah mengesampingkan ketentuan yang ada didalam KUHAP. UU KPK sebagai ketentuan khusus mau tidak mau harus mengesampingka apa yang telah diatur dalam KUHAP sebagai ketentuan umum. Dalam UU KPK jelas mengatakan bahwa penyelidik dan penyidik pada KPK adalah penyelidik dan penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Frase kata “mengangkat” tentunya bahwa KPK juga berwenang mengangkat pegawainya secara independen tanpa harus berasal dari Polri maupun kejaksaan. Betul bahwa disana ada kata-kata penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK. Namun itu bukan suatu alasan bahwa semua pegawai KPK harus berasal dari instansi yang namanya Polri dan kejaksaan. Penulis berpendapat itu hanya sekedar bahwa pada awal berdirinya KPK, untuk memkasimalkan dan mengefisienkan waktu tidak mungkin pada saat itu merekrut pegawai baru, maka jalan keluarnya adalah dengan mengambil penyelidik dan penyidik dilembaga yang telah ada yakni Polri dan kejaksaan dengan syarat harus diberhentikan sementara. Oleh karena itu pengangkatan penyelidik dan penyidik oleh KPK adalah sah berdasarkan ketentuan UU 30 Tahun 2002.

Dengan adanya putusan hakim Haswandi bahwa penyelidik itu harus dari Polri, maka telah mendelegitimasi institusi-institusi lain yang mempunyai ketentuan lebih khusus. Sebagai contoh bagaimana dengan lembaga KOMNAS HAM? Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang hukum acara atas pelanggaran HAM berat, dikatakan bahwa Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan jika terjadi dugaan pelanggaran HAM berat. Apakah penyelidik KOMNAS HAM mulai saat ini juga tidak berwenang melakukan tugas dan wewenangnya?

Dalam putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 21/PUU-XII/2014, yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan, pada halaman 105 dan 106 putusan tersebut adalah mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka mengumpulkan alat bukti guna menemukan tersangkanya. Sedangkan untuk menentukan status tersangka terhadap seseorang, menurut MK harus ada 2 alat bukti. Jadi jelas bahwa pertimbangan MK memasukan penetapan tersangka dalam objek praperadilan tidak lain tidak bukan adalah untuk menilai sah atau tidaknya alat bukti yng didapat penyidik pada saat menetapkan sesorang menjadi tersangka. Alat bukti sah, maka penetapan tersangka pun sah, demikian sebaliknya, jika alat bukti tidak sah, maka penetapan tersangka terhadap seseorangpun menjadi tidak sah. Putusan hakim Haswandi yang mengugurkan status tersangka Hadi Poernomo bukan didasarkan pada pertimbangan sah atau tidaknya alat bukti yang didapat penyidik KPK untuk mentersangkakan Hadi Poernono, namun dengan mengambil pertimbangan lain yang telah keluar dari materi putusan MK.

ByAdmin

KETENTUAN PRAPERADILAN DALAM KUHAP

 

pas foto

Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Batampos (18 Februari 2015). Berita terbaru dan ter update saat ini adalah mengenai dikabulkannya gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Budi Gunawan melalui Tim Kuasa Hukumnya. Hal ini menarik untuk disikapi khususnya secara hukum acara pidana. Perlu  ditekankan bahwa, dalam hal ini Penulis tidak ada tendensius terhadap pihak manapun, namun Penulis akan mencoba menguraikan sesuai dengan kapabilitasnya terutama mengenai aturan-aturan yang ada mengenai Praperadilan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Diawal permohonan gugatan Praperadilan dilakukan, telah memunculkan persepsi yang bermacam-macam, terutama mengenai ‘apakah sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap seseorang’ dapat dikategorikan sebagai salah satu objek dalam Praperadilan. Tentu dengan adanya polemik ini, telah terjadi penafsiran hukum yang berbeda dari masing-masing pihak terutama yang terkait dalam masalah ini. Bagi tim kuasa hukum tentunya ini hal lumrah dalam pembelaan terhadap kliennya, sepanjang cara-cara yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada. Toh ini usaha dalam pembelaan yang dilakukan, pada akhirnya hakim yang memutuskan.

Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Bila kita melihat isi pasal di atas, menurut hemat penulis bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna  yang tanpa ada kesalahan, sehingga siapapun dia, termasuk aparat penegak hukum, dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap tindakannya terutama menyangkut dengan isi Pasal 77 di atas. Dan itu telah diatur dalam ketentuan undang-undang.

Intinya, bagi seorang tersangka, apabila merasa bahwa tindakan penangkapan atau penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap dirinya merupakan tindakan yang tidak sah, maka undang-undang memberikan hak kepada dirinya untuk melakukan permintaan pemeriksaan (atau bahasa yang sering dipakai adalah ‘gugatan’) atas tindakan tersebut kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 79 KUHAP). Lalu dalam Pasal 81 KUHAP jika seandainya telah terbukti bahwa tindakan penangkapan atau penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum merupakan tindakan yang tidak sah, maka tersangka ataupun pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi. Khusus mengenai ganti kerugian, lebih diperjelas lagi dalam Pasal 95 (2) KUHAP menyatakan sidang praperadilan juga dapat memutus tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri. Perlu diingat bahwa pra peradilan diajukan sebelum perkara tersebut masuk ke tahap pemeriksaan oleh pengadilan.

Demikian juga bagi penyidik atau penuntut umum ataupun pihak ketiga, apabila merasa bahwa penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan adalah merupakan tindakan tidak sah, dapat mengajukan permintaan pemeriksaan pada ketua pengadilan negeri (Pasal 80 KUHAP). Ini mengindikasikan bahwa penghentian penyidikan dan penuntutan tidak bisa dilakukan secara diam-diam, namun harus berdasarkan prosedur yang ada. Namun dalam buku karangan Kombes Pol (pnw) M. Karjadi dan AKBP (pnw) R. Soesilo dengan judul KUHAP dengan Penjelasan Resmi dan Komentar dijelaskan bahwa “penghentian penuntutan” seperti tersebut di atas tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Oleh karena itu menurut hemat penulis berdasarkan penjelasan tersebut, penyampingan perkara untuk kepentingan umum bukan merupakan objek dari gugatan praperadilan.

Lalu bagaimana proses pemeriksaan praperadilan sesuai KUHAP? Dalam KUHAP dijelaskan bahwa dalam pemeriksaannya hakim juga harus mendengarkan keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang. Pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari, hakim harus sudh menjatuhkan putusannya. Dalam Pasal 82 ayat (3) dijelaskan bahwa isi putusan hakim harus memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umm pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
  2. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
  3. dalam hal putusan penetapan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
  4. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda tersebut disita;

Dari beberapa uraian-uaraian di atas ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan, tentunya sekali lagi tanpa ada tendensius dan sentimental apapun terhadap pihak lain. Disini hanya mencoba menguraiakan lebih jauh tentang praperadilan seperti yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan Indonesia. Hal-hal yang ingin disampaiakan antara lain:

  1. Objek atau hal-hal yang dapat dijadikan permintaan pemeriksaan praperadilan adalah sudah tertera secara normatif sesuai dengan yang tertera dalam KUHAP. Dan dari sekian pasal-pasal yang ada, tidak ada satupun yang mencantumkan baik tersirat maupun tersurat tentang “sah atau tidaknya penetapan tersangka”;
  2. Dalam hukum pidana dijelaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Apakah hakim menafsirkan objek praperadilan dengan pernyataan tersebut? Tentunya itu menjadi kewenangan hakim sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun menurut penulis, menafsirkan suatu pasal-pasal tentunya tidak bisa secara sembarangan, apalagi seperti dalam Pasal 77 KUHAP yang secara kasat mata tidak ada ruang lagi bagi penafsiran. Mungkin akan berbeda halnya, jika seandaainya dalam Pasal 77 KUHAP terdapat ayat lainnya lagi yang menyatakan “sah atau tidaknya tindakan penyidikan dan penuntutan lainnya menurut hukum yang bertanggung jawab”. Seandainya ada ayat tambahan tersebut, hakim mungkin boleh dan sah-sah saja menafsirkan bahwa “sah atau tidaknya penetapan tersangka” termasuk dalam objek gugatan praperadilan. Namun faktanya, dalam Pasal 77 KUHAP tidak terdapat ayat tersebut.
  3. Dalam hal putusan praperadilan, dalam KUHAP (Pasal 82 (3)) ada beberapa kategori yang harus dimuat dan dapat menjadi acuan hakim dalam menetapkan putusannya. Penulis melihat, dari sekian kategori yang harus dimuat tersebut, tidak ada satupun poin yang menerangkan “dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penetapan tersangka tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka”.

Oleh karena itu Penulis berpendapat bahwa, gugatan praperadilan yang dilakukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan melalui Tim Kuasa hukumnya, jika dilihat secara langsung dalam aturan KUHAP yang menjadi acuan hukum acara pidana di Indonesia, sesungguhnya tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bahwa “sah atau tidaknya penetapan tersangka” menjadi objek praperadilan dalam aturan KUHAP. Maka, seharusnya hakim menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan. Biarlah nanti majelis hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan yang memutuskan, karena disitulah majelis hakim dapat menggali lebih dalam lagi termasuk apakah Komjen Pol Budi Gunawan termasuk penyelenggara negara atau bukan dan juga hal-hal lainnya, sehingga nantinya akan lahir putusan lepas, bebas ataupun malah dipidana.

Lalu dengan adanya kasus ini, apakah sekarang “sah atau tidaknya penetapan tersangka” telah menjadi objek dari gugatan praperadilan?

ByAdmin

Pemberantasan Korupsi Tanpa Ujung

pas foto

Oleh : Rustam (Pengajar di Fakultas Hukum)

Batampos, Kolom Opini (23 Januari 2015). Persoalan hukum memang menarik untuk dibahas. Terlebih khususnya persoalan korupsi. Hal itu mungkin disebabkan karena masalah korupsi tersebut ada dan nyata sekali terjadi disekitar kita dalam kehidupan sehari-hari. Tiap hari kita mendengar dan membaca korupsi yang terjadi, dari level lokal hingga nasional. Itu baru yang terbongkar, kita masih bisa mengatakan, mungkin masih ada ratusan bahkan ribuan kasus korupsi yang hingga saat ini belum terungkap. Dan itulah yang menjadi kewenangan KPK, kepolisian dan kejaksaan, dan tentunya peran serta masyarakat untuk mengungkapnya.
Berita terbaru mengenai korupsi dan masih hangat-hangatnya adalah ketika calon Kapolri tunggal yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejadian ini sama halnya saat Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Demokrat dan Menteri Pemuda dan Olahraga dijadikan tersangka oleh KPK, maka beritanya menggema menjadi pembicaraan
nasional. Jika ditarik lebih jauh, persoalan korupsi sebetulnya bukan masalah baru. Verenigde Oost Indische Compagni (VOC) sebagai salah satu kongsi dagang Belanda yang telah menjajah Indonesia, bangkrut dan bubar salah satunya disebabkan karena perilaku korup para pegawainya. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Tentu ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Namun yang jelas, pencegahan dan penegakan hukum terkait korupsi harus selalu ditingkatkan. Disini saya akan mengungkapkan sedikit upaya yang dapat dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
1. Intensifkan Supervisi. Lord Acton mengatakan, the power tends to corrupt,and absolute power corrupts absolutely. Pelaku korupsi mayoritas dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan, baik kekuasaan dalam lingkup kecil maupun yang lebih besar. Dengan adanya kekuasaan,
mereka bisa mengendalikan dan melakukan apapun yang diinginkan. Faktor kekuasaan bisa menjadi lebih berbahaya ketika para bawahan mendiamkan apa yang terjadi di lingkungannya. Oleh karena itu harus ada pengawasan optimal yang dilakukan oleh lembaga yang berhak untuk itu. Bahkan supervisi dilakukan bukan hanya oleh lembaga formal, masyarakatpun harus turut andil dengan
cara melaporkan apakah ke KPK, kepolisian maupun kejaksaan ketika melihat indikasi adanya tindak pidana korupsi. Supervisi juga harus diintensifkan
ketika ada proyek-proyek yang tengah dilakukan, misalnya melalui audit-audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Oleh karena itu, dalam supervisi juga harus ada political will yang kuat dari penguasa dalam pemberantasan korupsi.
2. Putusan Hakim Harus Menyentuh Level Maksimal Sanksi. Putusan hakim yang rendah sedikit banyaknya menurut penulis sangat berpengaruh dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Sebagaimana dalam kasus korupsi, hal yang diutamakan sebenarnya bukan efek jeranya, tapi tujuan akhirnya bagaimana agar tidak ada pelaku lain yang melakukan tindak pidana korupsi. Banyak kasus korupsi yang terjadi, terlebih di daerah yang jauh dari hingar bingar media, putusan yang dijatuhkan terkadang relatif rendah. Tak heran kita sering mendengar suatu pernyataan masyarakat awam “enak ya korupsi 1 miliar, dipenjaranya 3 tahun. Dipotong masa tahanan, remisi, dan nanti mengajukan pembebasan bersyarat. Paling cuma 1 tahun aja dia dipenjara”. Memang bukan kesalahan hakim apabila putusan yang dijatuhkan relatif rendah, karena kita mengetahui dalam sanksi untuk sebagian pasal tindak pidana korupsi ada hukuman maksimal dan minimal. Oleh karena itu, tidak ada salahnya mulai dari sekarang, apabila fakta-fakta di persidangan telah terpenuhi, jatuhkan putusan yang menyentuh level maksimal hukuman terhadap pelaku korupsi. Bahkan apabila unsur keadaan tertentu seperti dalam UU Tipikor, hukuman mati pun dapat dijatuhkan.
3. Maksimalkan Asset Recovery. Asset recovery sangat berpengaruh dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Penulis pernah melakukan penelitian dalam masalah ini. Kadang kita melihat dan membaca putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa korupsi terkait dengan uang yang dikorupsinya adalah harus mengganti kerugian negara, dan apabila dalam waktu sekian bulan tidak dibayarkan, maka akan diganti dengan kurungan selama sekian bulan. Putusan itu memang tidak keliru, namun asset recovery menurut penulis sama pentingnya dengan hukuman penjara yang dijatuhkan. Sebagai contoh , penulis pernah membaca dalam sebuah tulisan, negara Filipina yang dalam upaya
pengembalian aset saja, membutuhkan waktu 18 tahun untuk menarik kembali dana sebesar USD 624 juta hasil penyelewengan uang negara oleh mantan Presiden Ferdinand Marcos di sebuah bank di Swiss. Bagaimana dengan Indonesia? Seharusnya, ketika penyidik melakukan penyidikan, sita seluruh harta yang ada hubungannya dengan kasus tersebut. ketika nanti terbukti, maka pengembalian asset telah dan/atau mulai dilakukan. Atau apabila diperlukan, lakukan gugatan secara perdata. Karena dalam tindak pidana korupsi, bukan hanya memenjarakansi koruptor sebagai  bentuk pertanggungjawaban pidana, namun bagaimana agar uang rakyat untuk sekolah, untuk kesehatan, untuk membangunjembatan, dan kepentingan lainnya berhasil terselamatkan.
4. Alokasikan Anggaran yang Cukup. Masalah anggaran menjadi penting ketika dikaitkan dengan penegakan
hukum korupsi di daerah-daerah terpencil, yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan. Penulis tidak mengatakan bahwa kepolisian dan kejaksaan enggan menyidik kasus korupsi karena anggarannya yang terkadang kurang. Namun yang dititikberatkan adalah, ketersediaan anggaran yang kurang akan menjadi hambatan dan kendala dalam penegakan korupsi. Kepulauan Riau sebagai propinsi yang memiliki ratusan pulau, memiliki satu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berkedudukan di Tanjungpinang. Dapat kita membayangkan bagaimana seandainya
jika ada kasus korupsi yang terjadi diwilayah Kabupaten Natuna ataupun Anambas, maka harus bolak balik ketika proses persidangan akan dilakukan, apalagi jika dalam kasus tersebut terdapat puluhan saksi dan semuanya berkedudukan di kedua kabupaten tersebut. Oleh karena itu, ketika Penulis melakukan penelitian kerjasama KPK dan Universitas Riau Kepulauan dengan tema “Efektifitas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, salah satu pertimbangan yang diberikan kepada KPK adalah agar dibentuk lagi Pengadilan Tipikor di Propinsi Kepulauan Riau di luar Tanjungpinang.
5. Lakukan Pembuktian Terbalik. Sebagian orang beranggapan bahwa pembuktian terbalik atau ada pakar yang mengatakan pembalikan beban pembuktian, bertentangan dengan asas hukum presumption of innocence, dan asas hukum lainnya. Dimana dalam pembuktian terbalik, seorang tersangka langsung didakwa telah melakukan perbuatan
korupsi, dan si tersangka diberikan hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi dalam hal ini, beban pembuktian diberikan kepada tersangka, berbeda dengan praktek selama ini, dimana penyidik bersusah payah mencari alat bukti (minimal 2) tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh si pelaku. Jika dikaji secara mendalam, korupsi sebagai extra ordinary crime, maka penanganannya juga harus luar biasa. Dan langkah efektif yang dapat diambil tentunya adalah dengan cara pembuktian terbalik. Namun tentunya perlu dibuat undang-undang (UU) khusus tentang bagaimana tata cara pembuktian tersebut dilakukan, mengingat dalam UU Pemberantasan Tipikor dan UU hukum acara lainnya tidak mengatur secara rinci hal itu. Dengan pembuktian terbalik, semua orang khususnya pegawai negeri seperti disebut dalam UU Tipikor dan para penyelenggara negara lainnya, apabila terdapat ketidakwajaran terhadap harta yang dimiliki maka dapat langsung dituntut secara pidana tanpa harus mengumpulkan alat-alat bukti terlebih dahulu. Namun sekali lagi harus dibuat undang-undang khusus yang mengatur hal tersebut.
6. Pengajaran Pendidikan Anti Korupsi. Mulai saat ini, demi terselamatkannya generasi penerus masa depan bangsa, sudah sepantasnya memasukkan dan mengajarkan tentang wajibnya
materi pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi diseluruh Indonesia. Melalui cara ini, manfaat pemberantasan korupsi yang dilakukan bukan untuk saat sekarang, tapi diharapkan untuk puluhan tahun yang akan datang.
7. Peran Serta Masyarakat. Dalam UU Tipikor telah secara jelas diatur bagaimana peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bahkan bilamana perlu, negara dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah membantu hal tersebut. Namun yang perlu ditekankan adalah, adanya perlindungan hukum yang maksimal oleh negara terhadap si pelapor. Karena persoalan korupsi bukan persoalan sepele, ia banyak dilakukan oleh para white color crime, dimana mereka mempunyai kekuatan jaringan dan pengaruh luar biasa yang dapat membahayakan kehidupan si pelapor. ***

ByAdmin

BNN RI Libatkan Fakultas Hukum UNRIKA Lakukan Penelitian di Prov. Kepri

Satgas Anti Narkoba

UNRIKA, BATAM. Meningkatnya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia umumnya dan Kepulauan Riau khususnya, menggerakan BNN pusat untuk melakukan penelitian. Penelitian yang digagas oleh BNN tersebut tentunya ingin melihat bagaimana secara angka dapat diketahui tabel tentang penyalahgunaan di Kepri.

Rektor Unrika Prof Nasruddin H. menyatakan “ini merupakan suatu kehormatan besar bagi Unrika, bagaimana mereka BNN pusat menunjuk kami sebagai mitra dalam kegiatan penelitian ini, dan Insya Allah kami dapat menjalankan amanah ini”.

Sejalan dengan Rektor, Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan, Rustam menyampaikan ” ini momentum kami untuk memikul tugas dan tanggungjawab guna bagaimana caranya kami diakademis dapat berguna bagi dunia pendidikan, bangsa dan negara”.

Penelitian yang juga melibatkan Universitas Indonesia ini rencananya akan diadakan di bulan September hingga oktober 2016, dengan lokasi di 18 Provinsi di Indonesia. Untuk Kepulauan Riau difokuskan pada 3 kota sebagaimana disebut di atas, yakni Batam, Tanjungpinang dan Bintan.

 

ByAdmin

UNRIKA Adakan Pelatihan Pengelolaan Website

Pelatihan

UNRIKA, BATAM- Universitas Riau Kepulauan Batam mengadakan pelatihan pengelolaan website dilingkungan fakultas. Selasa (16/8/2016)

Pelatihan yang diikuti oleh seluruh perwakilan fakultas dan lembaga dilingkungan Unrika tersebut dimaksudkan agar manajemen website pada masing-masing fakultas dan lembaga dapat berjalan maksimal dan optimal sesuai dengan kebutuhan.

Acara yang dipandu oleh Doni Pinayungan Nasution, ST selaku Kepala Bidang Web dan Design Unrika itu turut dihadiri oleh Rustam,SH,MH perwakilan Fakultas Hukum, Ramon Zamora, SE,MM dari Fakultas Ekonomi, Yustinus Farid S, SIP,MPA dari FISIPOL,  Darul Aman H, SPt, MM, MPd dari FKIP, Reza Nandita, ST, M.Eng dari Fakultas Teknik, Ramses, SPi, MSi dari LPPM, Ronald dari LPMI, serta Melda dan Hanafi dari Rektorat.

Wakil Rektor I Bidang Akademik Ade P. Nasution menyampaikan bahwa pelatihan ini perlu dilakukan untuk memberikan bekal kepada administrator pada masing-masing fakultas dan lembaga, yang mana nantinya website tersebut akan diisi dengan berbagai macam berita tentang kegiatan dimasing-masing fakultas dan lembaga.

Senada dengan Wakil Rektor I, Dekan Fakultas Hukum Rustam, menambahkan bahwa dengan adanya pelatihan ini, akan sangat bermanfaat bagi administrator di fakultas guna memperluas informasi baik bagi civitas akademika maupun bagi masyarakat umum