Author Archive Admin

ByAdmin

UNRIKA Peroleh Penghargaan Dari Kepala BNN Prov. Kepri

IMG_2306

UNRIKA-BATAM. Dalam rangka tugas perguruan tinggi untuk melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian, Universitas Riau Kepulauan, sebagai salah satu kampus yang berdomisili di Prov Kepulauan Riau, tepatnya di Batam, juga harus bekerja keras dalam rangka mewujudkan tugas tersebut.  Sebagai salah satu wujud dari Tri Dharma pengabdian kepada masyarakat, salah satu kegiatan yang gencar dilakukan oleh UNRIKA adalah tentang sosialisasi pencegahan penyalahgunaan narkotika terhadap masyarakat. Dimana hal tersebut dilakukan baik oleh dosen maupun juga yang dilakukan oleh mahasiswa. Bukti dari apa yang telah dilakukan oleh UNRIKA adalah dengan menerima penghargaan dari BNN Provinsi Kepri yang diserahkan langsung oleh Kepala BNN Kepri, Bapak Kombes Pol. Benny Setiawan, Sabtu, 27 Agustus 2016 di Nagoya City Walk Batam..

Pada kesempatan tersebut Kepala BNN mengungkapkan rasa terima kasih yang setingi-tingginya kepada UNRIKA sebagai salah satu institusi pendidikan yang juga ikut terlibat dalam program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap narkotika (P4GN) khususnya di Prov Kepulauan Riau. Penghargaan tersebut langsung diterima oleh Dekan Fakultas Hukum UNRIKA, Rustam, mewakili Rektor. “Kami bangga dengan ini dan sungguh merupakan apresiasi yang tinggi terhadap apa yang dilakukan oleh civitas akademika UNRIKA, dengan penghargaan ini kami bukannya akan berhenti, namun akan tetap berusaha demi kemaslahatan bangsa dan negara” demikian dikatakan Dekan Fakultas Hukum.

ByAdmin

Pelaksanaan Bimbingan Akademik dan Pengajuan Kartu Rencana Studi

images

Kepada seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam, bahwasanya pelaksanaan Bimbingan Akdemik dan Kartu Rencana Studi Semester Ganjil Tahun Akademik 2016/2017, sudah dapat dilihat di Sistem Akademik UNRIKA yang beralamat di siakad.unrika.ac.id. Silahkan download filenya untuk info lebih lanjut tentang nama Pembimbing Akademik dan waktu pelaksanaannya.

Demikian dan terima kasih

ByAdmin

Pengumuman Ujian Skripsi

555f28200423bd002b8b4567

Pada hari Kamis, tanggal 25 Agustus 2016, pukul 16.00 WIB di Ruang Peradilan Semu Fakultas Hukum, akan diadakan sidang skripsi atas mahasiswa :

Nama            : Katijah

Judul             : Analisan Yuridis Tentang Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta     Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

Tim Penguji : Seftia Azrianti SH,MH, Rumbadi SH,MH, Alwan Hadiyanto, SH,MH

Kepada mahasiswa yang bersangkutan, untuk hadir 15 menit sebelum waktu yang telah ditentukan.

Terima Kasih.

ByAdmin

Mengulas Inisiatif Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak

pas fotoOleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Central Batam, 28 Oktober 2015. Beberapa bulan belakangan marak terjadi peristiwa-peristiwa yang membuat masyarakat menjadi responsif. Intensifnya pemberitaan di media, menjadikan setiap peristiwa menjadi lebih cepat menyebar. Dari banyaknya kasus pembegalan, pembunuhan, pembakaran hutan yang tak kunjung henti, dan tentunya yang tidak kalah hebohnya adalah meningkatnya kasus kejahatan seksual terhadap anak, selalu menghiasi layar kaca media elektronik. Negara seakan kewalahan, dan dianggap tidak mampu melindungi warga negaranya, hingga pada akhirnya membuat masyarakat marah, dan diiringi dengan penghujatan terhadap pemerintah, dan pada ujungnya lahir perbuatan main hakim sendiri.

Dalam memenuhi hak-haknya, seorang anak tidak dapat melakukannya sendiri disebabkan kemampuan dan pengalamannya yang masih terbatas. Orang dewasa, para orang tua dan yang paling penting negara memegang peranan penting dalam perlindungan terhadap anak. Perlindungan terhadap hak-hak anak, menjadi isu yang bukan saja dilevel nasional, namun juga internasional. Dilevel nasional antara lain telah terbit Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi, sehingga pelanggaran terhadap hak-hak anak merupakan kejahatan serius sehingga harus diatur dalam ketentuan yang lebih khusus. Bahkan telah lahir Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002, yang mengamanatkan Pemerintah Daerah pun berkewajiban dan bertanggung jawab melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah. Selain itu, dalam rangka perlindungan terhadap anak, juga telah lahir Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dimana proses hukum acara terhadap anak membutuhkan ketentuan spesialis yang tentunya berbeda dengan orang dewasa sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP. Bahkan, dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia sampai merumuskan beberapa pasal khusus dalam upaya perlindungan terhadap hak-hak anak, karena pembentuk undang-undang menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM.

Berbagai macam ketentuan di atas, ternyata tidak membuat orang berpikir ketika melakukan tindakan kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan seksual. Masyarakat resah, terlebih para orang tua, yang masa depan anaknya telah dirampas oleh manusia-manusia tak bermoral, manusia-manusia tak berperi-kemanusiaan, dan manusia-manusia bejad. Masyarakat marah, kesal dan kecewa, sehingga mereka beranggapan, hukuman atau pidana yang telah tertera dalam peraturan perundang-undangan yang ada, belumlah mampu membendung perilaku kejahatan terhadap anak. Sehingga para orang tua sebagai korban, para LSM yang bergerak dibidang anak, dan kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa bagi mereka para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, hukuman penjara tidaklah cukup, tapi harus “dikebiri” (tindakan bedah dan atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau ovarium pada betina – id.wikipedia.org), dengan kata lain syaraf yang berkaitan dengan nafsu seksualnya harus dipotong, barulah itu dikatakan sebagai hukuman seimbang dengan perbuatan yang dilakukan pelaku. Demikian masyarakat beranggapan karena saking jengkelnya.

Euforia peng-kebiri-an terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, menjadi semakin santer dibicarakan. Namun sebagai sebuah negara hukum, segala tindakan tentu harus didasarkan pada hukum positif yang ada. Ada beberapa hal yang ingin Penulis ungkapkan terkait maraknya inisiatif “kebiri” terhadap para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

  1. Dalam Pasal 10 KUHP, dijelaskan mengenai pemidanaan yang dijadikan landasan dalam hukum pidana di Indonesia,yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda, dan pidana tutupan (pidana tutupan pernah dipraktekan pada kasus 3 Juli 1946). Sedangkan pidana tambahan adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang, dan pengumuman putusan hakim. Jika menilik ketentuan tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit, rasanya sulit untuk memasukan “kebiri” ke dalam salah satu pidana seperti dijelaskan di atas. Seandainya “kebiri” dimasukan sebagai hukuman “pencabutan hak tertentu”, hak apa yang dicabut dengan di-kebiri-nya seseorang? apakah pencabutan hak harus melukai tubuh atau badan dari seseorang warga negara?;
  2. Pemberlakuan hukuman ‘kebiri’ terhadap kejahatan seksual akan menimbulkan implikasi serius, misalnya bagi pelaku yang telah mempunyai pasangan. Bagi seorang istri yang mempunyai seorang suami sebagai pelaku kejahatan seksual dan jatuhi hukuman ‘kebiri’, maka akan menimbulkan dampak psikologis yang kuat. Apalagi sebagai sebuah pasangan rumah tangga, istri memiliki hak untuk dicukupi nafkah lahir dan bathinnya, selain itu, istri juga mempunyai hak untuk melanjutkan keturunan yang telah di jamin oleh UUD RI 1945. Belum lagi bagi anak-anak dari si Pelaku, bila suatu saat nanti menginginkan “adik” baru, maka hal itu tidak akan terjadi dengan di-kebiri-nya ayah mereka;
  3. Hukuman ‘kebiri’ tidak sesuai dengan apa tujuan pemidanaan yang berkembang dewasa ini. Pemidanaan yang sebelumnya sebagai pembalasan dan pemelihara ketertiban umum, saat ini telah berkembang menjadi mendidik atau meperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan sehingga nantinya akan bermanfaat dan diterima oleh masyarakat, sehingga muncul istilah baru ‘lembaga pemasyarakatan’ dari sebelumnya penjara, dan ‘warga binaan’ dari istilah sebelumnya narapidana;
  4. Bahwa dengan di-kebiri-nya sesorang akan menimbulkan kehidupan yang tidak jelas dan penderitaan sepanjang masa. Bagaimana misalnya dengan pelaku kejahatan yang telah keluar dari Lapas dan berubah menjadi baik serta diterima masyarakat, namun disisi lain kehidupan seksualnya telah dikebiri, dapatkan negara mengembalikannya kembali? Apakah seumur hidupnya ia harus selalu dan terus menderita? ;
  5. Bahwa bagi mereka yang belum menikah dan menjadi pelaku kejahatan seksual, lalu ditetapkan menjadi tersangka, kemudian hakim menjatuhkan putusan ‘kebiri’. Bagaimana dengan haknya untuk menikah dan melanjutkan keturunan seperti telah dijamin oleh konstitusi?

 

Oleh karena itu, pada dasarnya munculnya inisatif hukuman ‘kebiri’ disebabkan meningkatnya grafik kejahatan seksual terhadap anak pada akhir-akhir ini. Tentunya respon tesebut menjadi positif ketika ditanggapi secara arif, namun dapat menjadi boomerang ketika ditindak lanjuti secara gegabah. Negara dalam hal ini pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang, harus mengakomodir secara hati-hati dan secara rinci apabila keinginan masyarakat tersebut akan diwujudkan. Penegakan hukum tentunya harus mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan yang paling penting adalah kemanfaatan.

ByAdmin

Sekilas Rencana Penghentian Kasus Novel Baswedan Dalam Perspektif Hukum

foto

Oleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Batampos, 20 Februari 2016. Permasalahan hukum tak hentinya terus meregenerasi. Satu selesai atau bahkan belum, muncul lagi generasi masalah selanjutnya. Topik hari ini yang begitu hangat adalah terkais status tersangka dari Novel Baswedan dan juga Abraham Samad serta Bambang Widjojanto. Tapi kelihatannya, pembahasan tentang Bovel Baswedan lebih dominan dalam menghiasi halaman di media cetak ataupun online, apalagi jika dikaitkan dengan isu barter dan lain sebagainya. Beberapa pihak mengatakan kasus Novel Baswedan telah ditutup, diberhentikan,surat dakwaan dicabut, ataupun telah dikesampingkan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa mencuatnya kasus yang melibatkan Novel Baswedan sebenarnya telah lama terjadi. Namun lebih tenar lagi ketika KPK mentersangkakan Komjen Pol. Budi Gunawan, dan tak lama setelah itu, kasus ini kembali menaiki tangga berita di Indonesia. Kriminalisasi terhadap KPK, itulah headline berita sehari-hari. Kepolisian menyangkal, namun masyarakat masih tak percaya.

Penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut telah selesai, dan kini bola itu ada ditangan kejaksaan sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan penuntutan. Sampai di kejaksaan, sebagai respon atas tanggapan masyarakat yang begitu meluas, ada niat bahwa, kasus Novel Baswedan akan dihentikan. Lalu bagaimana sebenarnya hukum acara pidana kita melihat hal itu?

Dalam Pasal 140 (2) huruf a KUHAP menyatakan “ dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”. Itulah kira-kira kewenangan yang dimiliki oleh penuntut umum ketika akan menhentikan suatu perkara.

Lalu bagaimana jika suatu kasus telah masuk ke pengadilan. Dalam Pasal 144 ayat (1) KUHAP berbunyi “ penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya”.

Melihat bunyi pasal-pasal dalam KUHAP di atas, bagaimana itu jika dihubungkan dengan kasus Novel Baswedan. Beberapa pihak menyatakan bahwa penghentian tehadap kasus Novel dapat dilakukan dengan menggunakan argumentasi Pasal 144 ayat (1) KUHAP seperti telah dibunyikan di atas, tinggal menyebutkan alasannya. Namun jangan lupa bahwa, dalam Pasal 144 masih terdapat ayat (2) nya yang  menyatakan “pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai”.

Pertama, apabila argumentasi penghentian kasus Novel dilihat dari persepsi Pasal 144 (1) KUHAP, mungkin saja dapat dilakukan oleh penuntut umum, karena batas waktu selambat-lambatnya tujuh hari belum terlewatkan mengingat sampai saat ini belum dijadwalkan kapan sidang pertama kasus itu akan dilaksanakan. Jadi perubahan untuk tidak melanjutkan penuntutan terhadap kasus ini secara prosedur masih terbuka lebar, tentunya dengan alasan-alasan yang sah menurut hukum.

Kedua, lalu apa kewenangan penuntut umum dalam hal tidak melanjutkan penuntutan terhadap kasus Novel. Melihat isi Pasal 140 (2) huruf a sebagaimana disebutkan di atas, jelas bahwa penuntut umum diberikan kewenangan untuk menghentikan penuntutan apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum. Lalu, dapatkah penutut umum menghentikan penuntutan sesuai dengan alasan-alasan tersebut.

Jika alasan penuntut umum menghentikan penuntutan terhadap kasus Novel dengan alasan karena tidak terdapat cukup bukti. Maka menjadi pertanyaan besar, karena selama ini, baik dari pihak kepolisian sendiri maupun dari pihak korban, bukti terhadap perkara ini dianggap telah cukup. Bahkan kita melihat tayangan disalah satu televisi swasta dijelaskan secara gamblang bagaimana cara Novel melakukan penganiayaan terhadap si korban. Kedua, apabila alasan tidak terdapat cukup bukti dijadikan alibi untuk menghentikan kasus Novel, mengapa sebelumnya kejaksaan tidak mengembalikan berkasnya kepada penyidik untuk dilengkapi. Dengan demikian dapat dideskripsikan bahwa artinya kasus itu telah P21. Jadi penghentian penuntutan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti untuk kasus dengan tersangka Novel Baswedan, sangat tidak mungkin untuk dilakukan.

Jika penghentian penuntutan kasus Novel dengan dasar bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, sulit kita untuk menerimanya. Bagaimana itu bukan tindak pidana jika kepolisian sendiripun telah yakin bahwa alat bukti telah cukup, korban yang telah mengaku, dan beberapa rekan dari Novel sendiri yang bersaksi, terlebih bahwa kasus tersebut telah P21. Jadi, apabila penghentian penuntutan kasus Novel karena peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, sangat tidak mungkin untuk dilakukan.

Lalu bagaimana jika penghentian penuntutan dengan alasan demi hukum, apa klasifikasinya. Sedangkan alasan demi hukum sampai saat ini masih menjadi perdebatan, apa makna demi hukum tersebut. Bagir Manan (Mantan Ketua MA) menyatakan demi hukum artinya adalah demi kepentingan tujuan hukum, contohnya ketertiban umum, atau rasa keadilan. Bila kasus tersebut dipaksakan, dikhawatirkan tujuan hukum tidak akan tercapai. Lain Bagir Manan, lain lagi M. Yahya Harahap, ia menggunakan alasan yang cukup simpel untuk menafsirkan makna demi kepentingan hukum, yaitu bila tersangka meninggal dunia, nebis in idem, dan perkaranya telah daluwarsa. Hal yang sama juga disampaikan oleh Moch. Faisal Salam (mantan Oditur Militer) Oleh karena itu dengan melihat komentar yang disampaikan M. Yahya Harahap, penghentian penuntutan demi hukum, sangat tidak masuk akal untuk dilakukan, kecuali dengan menunggu berlama-lama didiamkan sampai kasus tersebut memasuki masa daluwarsa.

Lalu bagaimana sebaiknya cara menyikapi kasus Novel Baswedan. Salah satu asas dalam penuntutan adalah asas oportunitas, dimana ada kewenangan untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi di  instutusi kejaksaan. Apa yang dimaksud kepentingan umum. Dalam penjelasan Undang-Undang Kejaksaan dijelaskan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut  merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Menurut Penulis, jika kejaksaan berniat untuk menghentikan kasus Novel Baswedan, maka tidak ada jalan lain selain dengan menggunakan kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Agung yaitu dengan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Setidaknya ada beberapa alasan, pertama, apabila dalil yang digunakan dalam penghentian kasus Novel dengan dasar Pasal Pasal 140 (2) huruf a KUHAP karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum (apapun pengertian ditutup demi hukum) yang dimiliki oleh penuntut umum, kita dapat merujuk ke Pasal 140 ayat (2) huruf d, bahwa suatu saat perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila ditemukan alasan-alasan yang baru. Kedua, terlepas benar tidaknya kasus ini, tapi jelas bahwa diangkatnya kasus Novel ini adalah karena ada sesuatu yang melingkarinya. Begitu miris kita melihat apabila kasus tersebut dibuka tutup kembali karena seolah-olah ada “kepentingan” yang memaksa didalamnya.

Dengan demikian tidak ada cara lain bagi institusi kejaksaan, selain dengan menyerahkan kasus Novel Baswedan ini kepada Jaksa Agng dengan keweanngan yang dimilikinya agar perkara tersebut dapat dikesampingkan demi kepentingan umum dan tidak akan pernah untuk dibuka kembali. Demikian juga mungkin dapat dilakukan terhadap kasus yang membelit mantan komisioner KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.