Mengulas Inisiatif Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak

pas fotoOleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Central Batam, 28 Oktober 2015. Beberapa bulan belakangan marak terjadi peristiwa-peristiwa yang membuat masyarakat menjadi responsif. Intensifnya pemberitaan di media, menjadikan setiap peristiwa menjadi lebih cepat menyebar. Dari banyaknya kasus pembegalan, pembunuhan, pembakaran hutan yang tak kunjung henti, dan tentunya yang tidak kalah hebohnya adalah meningkatnya kasus kejahatan seksual terhadap anak, selalu menghiasi layar kaca media elektronik. Negara seakan kewalahan, dan dianggap tidak mampu melindungi warga negaranya, hingga pada akhirnya membuat masyarakat marah, dan diiringi dengan penghujatan terhadap pemerintah, dan pada ujungnya lahir perbuatan main hakim sendiri.

Dalam memenuhi hak-haknya, seorang anak tidak dapat melakukannya sendiri disebabkan kemampuan dan pengalamannya yang masih terbatas. Orang dewasa, para orang tua dan yang paling penting negara memegang peranan penting dalam perlindungan terhadap anak. Perlindungan terhadap hak-hak anak, menjadi isu yang bukan saja dilevel nasional, namun juga internasional. Dilevel nasional antara lain telah terbit Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi, sehingga pelanggaran terhadap hak-hak anak merupakan kejahatan serius sehingga harus diatur dalam ketentuan yang lebih khusus. Bahkan telah lahir Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002, yang mengamanatkan Pemerintah Daerah pun berkewajiban dan bertanggung jawab melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah. Selain itu, dalam rangka perlindungan terhadap anak, juga telah lahir Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dimana proses hukum acara terhadap anak membutuhkan ketentuan spesialis yang tentunya berbeda dengan orang dewasa sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP. Bahkan, dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia sampai merumuskan beberapa pasal khusus dalam upaya perlindungan terhadap hak-hak anak, karena pembentuk undang-undang menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM.

Berbagai macam ketentuan di atas, ternyata tidak membuat orang berpikir ketika melakukan tindakan kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan seksual. Masyarakat resah, terlebih para orang tua, yang masa depan anaknya telah dirampas oleh manusia-manusia tak bermoral, manusia-manusia tak berperi-kemanusiaan, dan manusia-manusia bejad. Masyarakat marah, kesal dan kecewa, sehingga mereka beranggapan, hukuman atau pidana yang telah tertera dalam peraturan perundang-undangan yang ada, belumlah mampu membendung perilaku kejahatan terhadap anak. Sehingga para orang tua sebagai korban, para LSM yang bergerak dibidang anak, dan kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa bagi mereka para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, hukuman penjara tidaklah cukup, tapi harus “dikebiri” (tindakan bedah dan atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau ovarium pada betina – id.wikipedia.org), dengan kata lain syaraf yang berkaitan dengan nafsu seksualnya harus dipotong, barulah itu dikatakan sebagai hukuman seimbang dengan perbuatan yang dilakukan pelaku. Demikian masyarakat beranggapan karena saking jengkelnya.

Euforia peng-kebiri-an terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, menjadi semakin santer dibicarakan. Namun sebagai sebuah negara hukum, segala tindakan tentu harus didasarkan pada hukum positif yang ada. Ada beberapa hal yang ingin Penulis ungkapkan terkait maraknya inisiatif “kebiri” terhadap para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

  1. Dalam Pasal 10 KUHP, dijelaskan mengenai pemidanaan yang dijadikan landasan dalam hukum pidana di Indonesia,yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda, dan pidana tutupan (pidana tutupan pernah dipraktekan pada kasus 3 Juli 1946). Sedangkan pidana tambahan adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang, dan pengumuman putusan hakim. Jika menilik ketentuan tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit, rasanya sulit untuk memasukan “kebiri” ke dalam salah satu pidana seperti dijelaskan di atas. Seandainya “kebiri” dimasukan sebagai hukuman “pencabutan hak tertentu”, hak apa yang dicabut dengan di-kebiri-nya seseorang? apakah pencabutan hak harus melukai tubuh atau badan dari seseorang warga negara?;
  2. Pemberlakuan hukuman ‘kebiri’ terhadap kejahatan seksual akan menimbulkan implikasi serius, misalnya bagi pelaku yang telah mempunyai pasangan. Bagi seorang istri yang mempunyai seorang suami sebagai pelaku kejahatan seksual dan jatuhi hukuman ‘kebiri’, maka akan menimbulkan dampak psikologis yang kuat. Apalagi sebagai sebuah pasangan rumah tangga, istri memiliki hak untuk dicukupi nafkah lahir dan bathinnya, selain itu, istri juga mempunyai hak untuk melanjutkan keturunan yang telah di jamin oleh UUD RI 1945. Belum lagi bagi anak-anak dari si Pelaku, bila suatu saat nanti menginginkan “adik” baru, maka hal itu tidak akan terjadi dengan di-kebiri-nya ayah mereka;
  3. Hukuman ‘kebiri’ tidak sesuai dengan apa tujuan pemidanaan yang berkembang dewasa ini. Pemidanaan yang sebelumnya sebagai pembalasan dan pemelihara ketertiban umum, saat ini telah berkembang menjadi mendidik atau meperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan sehingga nantinya akan bermanfaat dan diterima oleh masyarakat, sehingga muncul istilah baru ‘lembaga pemasyarakatan’ dari sebelumnya penjara, dan ‘warga binaan’ dari istilah sebelumnya narapidana;
  4. Bahwa dengan di-kebiri-nya sesorang akan menimbulkan kehidupan yang tidak jelas dan penderitaan sepanjang masa. Bagaimana misalnya dengan pelaku kejahatan yang telah keluar dari Lapas dan berubah menjadi baik serta diterima masyarakat, namun disisi lain kehidupan seksualnya telah dikebiri, dapatkan negara mengembalikannya kembali? Apakah seumur hidupnya ia harus selalu dan terus menderita? ;
  5. Bahwa bagi mereka yang belum menikah dan menjadi pelaku kejahatan seksual, lalu ditetapkan menjadi tersangka, kemudian hakim menjatuhkan putusan ‘kebiri’. Bagaimana dengan haknya untuk menikah dan melanjutkan keturunan seperti telah dijamin oleh konstitusi?

 

Oleh karena itu, pada dasarnya munculnya inisatif hukuman ‘kebiri’ disebabkan meningkatnya grafik kejahatan seksual terhadap anak pada akhir-akhir ini. Tentunya respon tesebut menjadi positif ketika ditanggapi secara arif, namun dapat menjadi boomerang ketika ditindak lanjuti secara gegabah. Negara dalam hal ini pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang, harus mengakomodir secara hati-hati dan secara rinci apabila keinginan masyarakat tersebut akan diwujudkan. Penegakan hukum tentunya harus mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan yang paling penting adalah kemanfaatan.