Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Begal

pas foto

Oleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Batampos (11 Maret 2015). Selagi dunia masih ada dan bumi masih utuh, rasanya kejahatan memang tak akan pernah sirna dari muka bumi. Setiap hari tak henti-hentinya oleh media massa kita disuguhi berbagai macam tayangan-tayangan yang membuat miris. Dari mulai kejahatan korupsi yang tak pernah pergi dari republik ini, malpraktek oleh tenaga medis, tindakan asusila terhadap anak-anak dan kejahatan-kejahatan lainnya. Akhir-akhir ini, kita juga disuguhi oleh maraknya kejahatan begal yang membuat resah warga masyarakat Indonesia, tak terkecuali di Batam. Pelaku begal seolah bebas berbuat tanpa ada yang bisa menghentikannya, dan penegak hukumpun seolah kewalahan mengatasi persoalan yang terjadi. Padahal jika kita merenung, negara yang baik adalah yang mampu mengayomi dan mensejahterakan masyarakatnya. Tapi kenyataannya, jika kita melihat pemberitaan yang ada, korban yang dilakukan oleh pelaku begal semakin hari semakin bertambah, sehingga membuat masyarakat marah dan akhirnya melakukan tindakan dengan caranya sendiri dalam pemberantasannya, antara lain dengan cara menghajar beramai-ramai dan bahkan membakar tubuh pelaku begal.

Begal berarti orang atau beberapa orang yang melakukan pembegalan terhadap seseorang, dengan cara merampas dengan kekerasan dan atau ancaman kekerasan. Jika kita tilik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai lex generale, rasanya kita tidak akan melihat definisi terhadap kata “pembegalan”, pun juga kita tidak akan melihat apa itu tindak pidana pembegalan.

Lalu dengan melihat fakta di atas, bagaimana penegakan hukum terhadap begal, agar masyarakat kembali tenang dan aman dalam menjalankan aktifitasnya. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Ketika ketiga system hukum itu bersatu, maka penegakan hukum akan berjalan, namun sebaliknya, bila ketiganya terpecah belah, tidak menutup kemungkinan proses penegakan hukum juga akan terganggu.

  1. Struktur Hukum

Friedman mengatakan aspek pertama untuk tegaknya system hukum adalah struktur hukum. Struktur hukum adalah keseluruhan institusi perangkat hukum yang menjalankan ketentuan formal hukum pidana. Untuk mengungkap kejahatan dibutuhkan kepolisian, untuk melakukan penuntutan dibutuhkan kejaksaan, demikian juga untuk mengadili seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dibutuhkan hakim. Artinya mustahil terjadi penegakan hukum disuatu negara tanpa membentuk lembaga yang berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan hukum. Berkaitan dengan ini, ujung tombak penegakan hukum di Indonesia antara lain adalah  kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan juga petugas lembaga pemasyarakatan. Semua itu harus bersatu padu dalam menegakan hukum pidana, sehingga terwujudlah apa yang dinamakan Integrated Criminal Justice System. Kepolisian sebagai ujung tombak harus berperan aktif melihat fakta yang terjadi dimasyarakat. Melihat dampak dan ruang lingkupnya, mau tidak mau kepolisian harus membuat skala prioritas. Mana kejahatan yang saat ini betul-betul mendesak dan harus diberantas. Begal saat ini sudah luar biasa dampaknya, masyarakat menjadi cemas dan takut, karena tidak jarang mereka para pelaku akan melukai korbannya. Korban begalpun kebanyakan adalah masyarakat menengah kebawah, yang tidak jarang ketika menjadi korban, mereka sedang menjalankan aktifitasnya. Oleh karena itu, telah tiba waktunya aparat kepolisian, sebagai aparat hukum yang telah diberikan kewenangan oleh undang-undang, singsingkan lengan baju, bentuk tim terpadu dan satu kata untuk memberantas kejahatan, khususnya begal, sehingga penegakan hukum terhadap begal akan berjalan semakin efektif.

  1. Substansi Hukum

Ketika struktur hukum telah terbentuk dan bekerja maksimal dalam penegakan hukum, maka aspek kedua untuk menjaminnya penegakan hukum adalah substansi hukum. Substansi hukum mencakup keseluruhan norma dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan. Apakah norma-norma atau ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat mengakomodir kejahatan yang namanya begal? Karena bagaimanapun, dalam penegakan hukum harus mementingkan apa yang namanya asas legalitas. Nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali. Tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali ada undang-undang yang mengaturnya. Seperti diungkap di atas tadi, kalau kita lihat di KUHP, sebenarnya kita tidak melihat pengertian atau tindak pidana yang langsung menunjuk pada kata begal. Namun melihat situasi yang berkembang, pembegalan itu terjadi ketika ada perampasan terhadap barang dengan paksa, disertai kekerasan atau ancaman kekerasan, yang dilakukan oleh beberapa orang, bahkan terkadang korban mengalami luka-luka dan juga kematian. Lalu pertanyaannya dengan apa atau pasal mana Pelaku begal dapat dijerat secara hukum pidana? Coba kita tengok ketentuan hukum pidana kita. Pasal 365 KUHP ayat (1) menyatakan “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri”. Lalu Pasal 365 ayat (2) menyatakan dapat diancam pidana penjara 12 tahun jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dan juga mengakibatkan luka-luka berat. Kemudian jika mengakibatkan korban meninggal dunia, Pasal 365 ayat (3) pelaku diancam dengan pidana penjara 15 tahun. Bisakah kejahatan begal dijerat dengan Pasal di atas? Penulis menekankan bahwa pelaku begal akan sangat tepat jika dijerat dengan pasal tersebut. Karena banyak kasus terjadi, pelaku begal dalam menjalankan aksinya selalu disertai dengan kekerasan, ancaman kekerasan, lalu dilakukan oleh beberapa orang dan korbannya akan mengalami luka-luka bahkan kematian. Pada intinya, pembegalanpun pada dasarnya pencurian, namun karena cara melakukannya yang berbeda-beda, maka istilahnya menjadi lain. Banyak istilah lain yang pada dasarnya masuk kategori tindak pidana pencurian, namun dimasyarakat istilahnya menjadi berbeda, seperti penjambretan, perampasan, perampokan, ngutil, dan lain-lain. Dari ketentuan tersebut dengan jelas bahwa substansi hukum kita dapat menjangkau kejahatan yang namanya begal, tinggal penyidik jeli melihat unsur-unsur mana yang dapat terpenuhi, sehingga ancaman pidana yang diterapkan dapat sesuai dengan harapan masyarakat terutama korban begal.

  1. Budaya Hukum

Setelah struktur dan substansi hukum, unsur ketiga yang menjamin penegakan hukum adalah budaya hukum. Budaya hukum disini adalah menyangkut pandangan, pola pikir dan cara bertindak masyarakat secara keseluruhan, termasuk aparat hukumnya. Sebaik apapun kondisi dan penataan struktur hukum serta substansi hukum, tanpa adanya budaya hukum yang mendukung, maka penegakan hukum tidak akan berjalan efektif. Sebagai contoh penegakan hukum terhadap perjudian, sebaik apapun kerja aparat hukum dan ketentuan hukumnya, ketika sebagaian masyarakat masih menganggap perjudian sebagai hal lumrah, maka penegakan hukum terhadap kejahatan perjudian tak akan pernah habis. Demikian juga halnya dengan begal, masyarakat hendaknya berperan aktif demi tegaknya hukum. Friedman menyatakan “Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea)”. Itulah pentingnya budaya hukum, budaya hukum yang dimaksud tentunya, tindakan atau cara pandang masyarakat yang mendukung kerja aparat penegak hukum, sehingga pemberantasan kejahatan yang namanya begal menjadi lebih efektif. Cara pandang atau perilaku masyarakat yang mendukung dalam penegakan hukum, berarti jalannya penegakan hukum akan menjadi efektif, demikian pula sebaliknya, ketika pola, tindakan dan cara pandang masyarakat menghambat penegakan hukum, maka jalannya penegakan hukum juga akan menjadi terganggu. Melaporkan setiap kejahatan yang terjadi, bersedia menjadi saksi, tidak main hakim sendiri adalah salah satu dari tindakan masyarakat yang dapat mendukung penegakan hukum. Demikian juga aparat penegak hukumnya, tangkap semua pelaku-pelaku yang masih berkeliaran dimasyarakat, lakukan operasi-operasi dijalanan yang dianggap rawan memungkinkan terjadinya tindak kejahatan, juga merupakan satu cara yang dapat dilakukan untuk memberantas kejahatan begal.

Ketiga aspek di atas itulah yang menurut hemat penulis, ketika semua bersinergi, maka penegakan hukum terhadap begal akan lebih maksimal. Maksimal dalam arti tujuan dari system peradilan pidana akan tercapai, yakni mengadili pelaku kejahatan, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan dalam jangka panjang akan tercipta kesejahteraan masyarakat.