Menilik Putusan Praperadilan Hakim Haswandi Versus UU KPK

pas foto

Oleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Batampos, Kolom Opini. Indonesia saat ini boleh dikatakan sedang dalam tahap Over News, dimana berita di tanah air tidak henti-hentinya berproses. Komjen Budi Gunawan belum usai, kasus Novel Baswedan menyeruak, diiringi dengan munculnya prostitusi online plus prostitusi yang melibatkan beberapa artis, lalu tak lama kemudian muncul beras plastik, dan sekarang ini yang paling menarik, kalahnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)  dalam gugatan Praperadilan yang dilakukan oleh Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo.

Hakim praperadilan dalam perkara itu, Haswandi, dalam putusannya, salah satu poin pertimbangannya adalah bahwa secara administrasi penyelidik dan penyidik KPK dalam kasus Hadi Poernomo adalah tidak sah. Hakim menjelaskan bahwa penyelidik dan penyidik KPK sesuai dengan UU KPK haruslah berstatus sebagai penyelidik atau penyidik di instansi sebelumnya baik itu Polri atau Kejaksaan. Sedangkan penyelidik dalam kasus Hadi Poernomo yaitu Dadi Mulyadi dan dua penyelidik lainnya, bukan merupakan penyelidik sebelum diangkat menjadi penyelidik KPK, maka, tindakan penyelidikan yang dilakukan tidaklah sah. Sementara itu Ambarita Damanik, penyidik yang menangani kasus Hadi, merupakan penyidik Polri yang sudah diberhentikan secara hormat dari institusi Polri pada 25 November 2014. Dengan pemberhentian tersebut, hakim berpendapat bahwa Ambarita juga sudah kehilangan status penyidik yang melekat pada dirinya sehingga segala tindakan penyidikan yang dilakukan olehnya dianggap batal demi hukum.

Memang dalam KUHAP disebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat Polri, sedangkan Penyidik adalah Polri dan PPNS. Lalu muncul pertanyaan, apakah penyelidik dan penyidik KPK itu harus selalu dari Polri, dan jika bukan, bertentangankah dengan KUHAP?

Pertama, dalam hukum pidana dikenal asas Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki). Lebih tinggikah KUHAP sehingga harus mengesampingkan UU tentang KPK. KUHAP merupakan produk hukum jaman orde baru dengan nama lengkap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sedangkan UU tentang KPK adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dari namanya saja kita dapat melihat bahwa keduanya merupakan ketentuan yang sama, yakni undang-undang yang artinya keduanya sama-sama dibentuk oleh DPR bersama Pemerintah. Berlaku asas seperti tersebut di atas ketika suatu peraturan perundang-undangan yang sifatnya vertikal, sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu kedua ketentuan tersebut (KUHAP dan UU KPK) adalah sejajar, tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah. Menurut hemat Penulis jika hakim menyandarkan bahwa penyelidik dan penyidik di KPK tidak sah dengan dalih melanggar ketentuan Pasal 1 KUHAP, adalah keliru.

Kedua, ada asas juga yang berbunyi Lex specialis derogat legi generali, adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa ketentuan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum. KUHAP merupakan hukum acara pengganti Het Herziene Inlandsch Reglement, yang mengatur ketentuan pidana formil dan menjadi patokan para aparat penegak hukum dalam menegakan hukum dan keadilan. KUHAP tidak hanya mengatur satu institusi, namun mengatur secara global dan umum institusi penegak hukum yang terjalin dalam suatu system yang bernama system peradilan pidana, salah satunya subsistem kepolisisan yang didalamnya berisi penyelidik dan penyidik yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Sementara itu, UU KPK lahir bahwasanya maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi sehingga harus dibentuk lembaga yang namanya KPK yang kebetulan sesuai amanah undang-undang salah satu wewenang yang dimilikinya yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Berbeda dengan penyelidik dan penyidik Polri yang wewenangnya lebih luas,meliputi seluruh tindak pidana,  penyelidik dan penyidik KPK hanya berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan  terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang berhubungan dengan korupsi. Dengan kata lain, walaupun keduanya sama-sama penyelidik dan penyidik, namun berbeda dari segi perbuatan pidana yang ditanganinya. Jelas kita mengatakan bahwa dengan lahirnya UU KPK, lahir ketentuan yang sifatnya lebih khusus dibandingkan KUHAP yang sifatnya lebih umum.

Lalu bagaimana dengan pertimbangan hakim Haswandi bahwa penyelidik itu harus dari Polri sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Sesuai dengan asas hukum Lex specialis derogat legi generali di atas, menurut hemat penulis keliru jika penyelidik dan penyidik KPK itu harus dari Polri. Justru sebaliknya, dengan lahirnya UU KPK, maka ketentuan apapun yang ada didalamnya telah mengesampingkan ketentuan yang ada didalam KUHAP. UU KPK sebagai ketentuan khusus mau tidak mau harus mengesampingka apa yang telah diatur dalam KUHAP sebagai ketentuan umum. Dalam UU KPK jelas mengatakan bahwa penyelidik dan penyidik pada KPK adalah penyelidik dan penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Frase kata “mengangkat” tentunya bahwa KPK juga berwenang mengangkat pegawainya secara independen tanpa harus berasal dari Polri maupun kejaksaan. Betul bahwa disana ada kata-kata penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK. Namun itu bukan suatu alasan bahwa semua pegawai KPK harus berasal dari instansi yang namanya Polri dan kejaksaan. Penulis berpendapat itu hanya sekedar bahwa pada awal berdirinya KPK, untuk memkasimalkan dan mengefisienkan waktu tidak mungkin pada saat itu merekrut pegawai baru, maka jalan keluarnya adalah dengan mengambil penyelidik dan penyidik dilembaga yang telah ada yakni Polri dan kejaksaan dengan syarat harus diberhentikan sementara. Oleh karena itu pengangkatan penyelidik dan penyidik oleh KPK adalah sah berdasarkan ketentuan UU 30 Tahun 2002.

Dengan adanya putusan hakim Haswandi bahwa penyelidik itu harus dari Polri, maka telah mendelegitimasi institusi-institusi lain yang mempunyai ketentuan lebih khusus. Sebagai contoh bagaimana dengan lembaga KOMNAS HAM? Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang hukum acara atas pelanggaran HAM berat, dikatakan bahwa Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan jika terjadi dugaan pelanggaran HAM berat. Apakah penyelidik KOMNAS HAM mulai saat ini juga tidak berwenang melakukan tugas dan wewenangnya?

Dalam putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 21/PUU-XII/2014, yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan, pada halaman 105 dan 106 putusan tersebut adalah mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka mengumpulkan alat bukti guna menemukan tersangkanya. Sedangkan untuk menentukan status tersangka terhadap seseorang, menurut MK harus ada 2 alat bukti. Jadi jelas bahwa pertimbangan MK memasukan penetapan tersangka dalam objek praperadilan tidak lain tidak bukan adalah untuk menilai sah atau tidaknya alat bukti yng didapat penyidik pada saat menetapkan sesorang menjadi tersangka. Alat bukti sah, maka penetapan tersangka pun sah, demikian sebaliknya, jika alat bukti tidak sah, maka penetapan tersangka terhadap seseorangpun menjadi tidak sah. Putusan hakim Haswandi yang mengugurkan status tersangka Hadi Poernomo bukan didasarkan pada pertimbangan sah atau tidaknya alat bukti yang didapat penyidik KPK untuk mentersangkakan Hadi Poernono, namun dengan mengambil pertimbangan lain yang telah keluar dari materi putusan MK.