SYARIFA YANA, S.H., M.H.
Dosen Program Studi Ilmu Hukum FH UNRIKA
Tumpukan sampah, penggundulan hutan, menipisnya lapisan ozon, kabut asap, polusi udara, pemanasan global, tumpahan minyak di laut, punahnya spesies tertentu merupakan beberapa contoh masalah-masalah lingkungan hidup. Dalam kaca mata hukum, masalah-masalah lingkungan tersebut dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan hidup.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sedangkan perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Perbuatan mencemari dan menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup merupakan kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung dapat membahayakan, karena dapat menimbulkan perubahan dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Dampak negatif dari menurunnya kualitas hidup adalah timbulnya ancaman terhadap kesehatan, kerugian ekonomi, menurunnya nilai estetika dan terganggunya sistem alami. Oleh karena itu, untuk melindunginya maka diperlukan penegakan hukum.
Salah satu upaya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah terhadap perlindungan lingkungan hidup adalah dengan mengundangkan sejumlah peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut pada umumnya masih mengandung pendekatan sektoral, seperti peraturan perundang-undangan di bidang kependudukan/ Permukiman, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Perairan, Perindustrian, Konservasi Sumber daya Alam, dan lain sebagainya.
Selain itu pemerintah juga mengundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Undang-undang ini merupakan pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang sebelumnya juga telah mencabut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. UUPPLH ini berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat komprehensif.
Dalam ketentuan UUPPLH, upaya penegakan hukum terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan menggunakan sarana hukum administrasi negara, hukum perdata, dan hukum pidana.
Dari ketiga bentuk sarana yang disediakan tersebut, penggunaan sarana hukum administrasi lah yang dianggap paling penting. Hal ini karena sarana hukum administrasi memiliki fungsi preventif terhadap kegiatan-kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan-persyaratan pengelolaan lingkungan.
Fungsi preventif diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan sesuai dengan wilayah kerja masing-masing, yaitu Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur dan Bupati/ Walikota. Jika berdasarkan fungsi pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka pejabat yang berwenang dapat menjatuhkan sanksi administrasi terhadap si pelanggar.
Sanksi administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Dalam UUPPLH, bentuk sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan bagi si pelanggar adalah teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda atas tiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan.
Sanksi-sanksi hukum administrasi tersebut dilakukan oleh pemerintah/ pejabat tata usaha negara terhadap para pelanggar hukum lingkungan administrasi. Persoalan akan timbul jika terjadi pelanggaran lingkungan tetapi pejabat tata usaha negara yang berwenang tidak menjalankan kewenangannya dalam menjatuhkan sanksi. Dengan kata lain, pejabat tersebut mendiamkan saja terjadinya pelanggaran bahkan secara diam-diam merestui kegiatan yang melanggar tersebut. Misalnya, sebuah rencana kegiatan usaha yang wajib melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tetapi ternyata kegiatan itu telah berdiri atau beroperasi tanpa melalui AMDAL dan pejabat yang berwenang ternyata tetap mengeluarkan izin usaha bagi kegiatan tersebut. Untuk itu, UUPPLH memberikan peluang kepada setiap orang untuk mengajukan gugatan tata usaha negara kepada pejabat pemerintah yang berwenang tersebut.
Dalam UUPPLH juga dimungkinkan untuk mengajukan gugatan perdata pada pelaku pencemar dan perusakan lingkungan hidup. Gugatan tersebut hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan (negosiasi, mediasi dan arbitrasi) yang dipilih dinyatakan tidak berhasil. Gugatan perdata dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup. Bentuk sanksi hukum perdata yang dapat dimintakan dalam gugatan adalah ganti kerugian dan tindakan tertentu. Gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum dapat diajukan oleh warga masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga Pemerintah.
UUPPLH juga memuat sarana hukum pidana dalam ketentuannya, yaitu dengan merumuskan ketentuan pidana yang bersifat delik materil dan delik formil. Delik materil adalah delik yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangannya adalah akibat yang dilarang. Sedangkan pada delik formil, inti larangannya adalah melakukan suatu perbutan tertentu yang dilarang.
Pemberlakuan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana, baik orang perseorangan, pejabat berwenang yang tidak melakukan tugasnya, maupun badan usaha (korporasi). Bentuk sanksi pidana yang dapat diterapkan adalah berupa pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan atau tindakan tata tertib.
Tindakan tata tertib yang dapat dijatuhkan adalah berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebahagian tempat usaha atau kegiatan, perbaikan akibat tindak pidana, pewajiban melakukan apa yang dilalaikan tanpa hak dan penempatan perusahaan di bawah pengampuan pemerintah paling lama 3 (tiga) tahun.
Untuk pelaku tindak pidana yang berbentuk korporasi, tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan pada badan usaha, orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pimpinan kegiatan dalam tindak pidana tersebut, dan juga dapat dijatuhkan pada pengurus atau pimpinan badan usaha tersebut.