Monthly Archive August 21, 2016

ByAdmin

Mengulas Inisiatif Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak

pas fotoOleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Central Batam, 28 Oktober 2015. Beberapa bulan belakangan marak terjadi peristiwa-peristiwa yang membuat masyarakat menjadi responsif. Intensifnya pemberitaan di media, menjadikan setiap peristiwa menjadi lebih cepat menyebar. Dari banyaknya kasus pembegalan, pembunuhan, pembakaran hutan yang tak kunjung henti, dan tentunya yang tidak kalah hebohnya adalah meningkatnya kasus kejahatan seksual terhadap anak, selalu menghiasi layar kaca media elektronik. Negara seakan kewalahan, dan dianggap tidak mampu melindungi warga negaranya, hingga pada akhirnya membuat masyarakat marah, dan diiringi dengan penghujatan terhadap pemerintah, dan pada ujungnya lahir perbuatan main hakim sendiri.

Dalam memenuhi hak-haknya, seorang anak tidak dapat melakukannya sendiri disebabkan kemampuan dan pengalamannya yang masih terbatas. Orang dewasa, para orang tua dan yang paling penting negara memegang peranan penting dalam perlindungan terhadap anak. Perlindungan terhadap hak-hak anak, menjadi isu yang bukan saja dilevel nasional, namun juga internasional. Dilevel nasional antara lain telah terbit Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi, sehingga pelanggaran terhadap hak-hak anak merupakan kejahatan serius sehingga harus diatur dalam ketentuan yang lebih khusus. Bahkan telah lahir Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002, yang mengamanatkan Pemerintah Daerah pun berkewajiban dan bertanggung jawab melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah. Selain itu, dalam rangka perlindungan terhadap anak, juga telah lahir Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dimana proses hukum acara terhadap anak membutuhkan ketentuan spesialis yang tentunya berbeda dengan orang dewasa sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP. Bahkan, dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia sampai merumuskan beberapa pasal khusus dalam upaya perlindungan terhadap hak-hak anak, karena pembentuk undang-undang menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM.

Berbagai macam ketentuan di atas, ternyata tidak membuat orang berpikir ketika melakukan tindakan kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan seksual. Masyarakat resah, terlebih para orang tua, yang masa depan anaknya telah dirampas oleh manusia-manusia tak bermoral, manusia-manusia tak berperi-kemanusiaan, dan manusia-manusia bejad. Masyarakat marah, kesal dan kecewa, sehingga mereka beranggapan, hukuman atau pidana yang telah tertera dalam peraturan perundang-undangan yang ada, belumlah mampu membendung perilaku kejahatan terhadap anak. Sehingga para orang tua sebagai korban, para LSM yang bergerak dibidang anak, dan kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa bagi mereka para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, hukuman penjara tidaklah cukup, tapi harus “dikebiri” (tindakan bedah dan atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau ovarium pada betina – id.wikipedia.org), dengan kata lain syaraf yang berkaitan dengan nafsu seksualnya harus dipotong, barulah itu dikatakan sebagai hukuman seimbang dengan perbuatan yang dilakukan pelaku. Demikian masyarakat beranggapan karena saking jengkelnya.

Euforia peng-kebiri-an terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, menjadi semakin santer dibicarakan. Namun sebagai sebuah negara hukum, segala tindakan tentu harus didasarkan pada hukum positif yang ada. Ada beberapa hal yang ingin Penulis ungkapkan terkait maraknya inisiatif “kebiri” terhadap para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

  1. Dalam Pasal 10 KUHP, dijelaskan mengenai pemidanaan yang dijadikan landasan dalam hukum pidana di Indonesia,yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda, dan pidana tutupan (pidana tutupan pernah dipraktekan pada kasus 3 Juli 1946). Sedangkan pidana tambahan adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang, dan pengumuman putusan hakim. Jika menilik ketentuan tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit, rasanya sulit untuk memasukan “kebiri” ke dalam salah satu pidana seperti dijelaskan di atas. Seandainya “kebiri” dimasukan sebagai hukuman “pencabutan hak tertentu”, hak apa yang dicabut dengan di-kebiri-nya seseorang? apakah pencabutan hak harus melukai tubuh atau badan dari seseorang warga negara?;
  2. Pemberlakuan hukuman ‘kebiri’ terhadap kejahatan seksual akan menimbulkan implikasi serius, misalnya bagi pelaku yang telah mempunyai pasangan. Bagi seorang istri yang mempunyai seorang suami sebagai pelaku kejahatan seksual dan jatuhi hukuman ‘kebiri’, maka akan menimbulkan dampak psikologis yang kuat. Apalagi sebagai sebuah pasangan rumah tangga, istri memiliki hak untuk dicukupi nafkah lahir dan bathinnya, selain itu, istri juga mempunyai hak untuk melanjutkan keturunan yang telah di jamin oleh UUD RI 1945. Belum lagi bagi anak-anak dari si Pelaku, bila suatu saat nanti menginginkan “adik” baru, maka hal itu tidak akan terjadi dengan di-kebiri-nya ayah mereka;
  3. Hukuman ‘kebiri’ tidak sesuai dengan apa tujuan pemidanaan yang berkembang dewasa ini. Pemidanaan yang sebelumnya sebagai pembalasan dan pemelihara ketertiban umum, saat ini telah berkembang menjadi mendidik atau meperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan sehingga nantinya akan bermanfaat dan diterima oleh masyarakat, sehingga muncul istilah baru ‘lembaga pemasyarakatan’ dari sebelumnya penjara, dan ‘warga binaan’ dari istilah sebelumnya narapidana;
  4. Bahwa dengan di-kebiri-nya sesorang akan menimbulkan kehidupan yang tidak jelas dan penderitaan sepanjang masa. Bagaimana misalnya dengan pelaku kejahatan yang telah keluar dari Lapas dan berubah menjadi baik serta diterima masyarakat, namun disisi lain kehidupan seksualnya telah dikebiri, dapatkan negara mengembalikannya kembali? Apakah seumur hidupnya ia harus selalu dan terus menderita? ;
  5. Bahwa bagi mereka yang belum menikah dan menjadi pelaku kejahatan seksual, lalu ditetapkan menjadi tersangka, kemudian hakim menjatuhkan putusan ‘kebiri’. Bagaimana dengan haknya untuk menikah dan melanjutkan keturunan seperti telah dijamin oleh konstitusi?

 

Oleh karena itu, pada dasarnya munculnya inisatif hukuman ‘kebiri’ disebabkan meningkatnya grafik kejahatan seksual terhadap anak pada akhir-akhir ini. Tentunya respon tesebut menjadi positif ketika ditanggapi secara arif, namun dapat menjadi boomerang ketika ditindak lanjuti secara gegabah. Negara dalam hal ini pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang, harus mengakomodir secara hati-hati dan secara rinci apabila keinginan masyarakat tersebut akan diwujudkan. Penegakan hukum tentunya harus mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan yang paling penting adalah kemanfaatan.

ByAdmin

Sekilas Rencana Penghentian Kasus Novel Baswedan Dalam Perspektif Hukum

foto

Oleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Batampos, 20 Februari 2016. Permasalahan hukum tak hentinya terus meregenerasi. Satu selesai atau bahkan belum, muncul lagi generasi masalah selanjutnya. Topik hari ini yang begitu hangat adalah terkais status tersangka dari Novel Baswedan dan juga Abraham Samad serta Bambang Widjojanto. Tapi kelihatannya, pembahasan tentang Bovel Baswedan lebih dominan dalam menghiasi halaman di media cetak ataupun online, apalagi jika dikaitkan dengan isu barter dan lain sebagainya. Beberapa pihak mengatakan kasus Novel Baswedan telah ditutup, diberhentikan,surat dakwaan dicabut, ataupun telah dikesampingkan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa mencuatnya kasus yang melibatkan Novel Baswedan sebenarnya telah lama terjadi. Namun lebih tenar lagi ketika KPK mentersangkakan Komjen Pol. Budi Gunawan, dan tak lama setelah itu, kasus ini kembali menaiki tangga berita di Indonesia. Kriminalisasi terhadap KPK, itulah headline berita sehari-hari. Kepolisian menyangkal, namun masyarakat masih tak percaya.

Penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut telah selesai, dan kini bola itu ada ditangan kejaksaan sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan penuntutan. Sampai di kejaksaan, sebagai respon atas tanggapan masyarakat yang begitu meluas, ada niat bahwa, kasus Novel Baswedan akan dihentikan. Lalu bagaimana sebenarnya hukum acara pidana kita melihat hal itu?

Dalam Pasal 140 (2) huruf a KUHAP menyatakan “ dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”. Itulah kira-kira kewenangan yang dimiliki oleh penuntut umum ketika akan menhentikan suatu perkara.

Lalu bagaimana jika suatu kasus telah masuk ke pengadilan. Dalam Pasal 144 ayat (1) KUHAP berbunyi “ penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya”.

Melihat bunyi pasal-pasal dalam KUHAP di atas, bagaimana itu jika dihubungkan dengan kasus Novel Baswedan. Beberapa pihak menyatakan bahwa penghentian tehadap kasus Novel dapat dilakukan dengan menggunakan argumentasi Pasal 144 ayat (1) KUHAP seperti telah dibunyikan di atas, tinggal menyebutkan alasannya. Namun jangan lupa bahwa, dalam Pasal 144 masih terdapat ayat (2) nya yang  menyatakan “pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai”.

Pertama, apabila argumentasi penghentian kasus Novel dilihat dari persepsi Pasal 144 (1) KUHAP, mungkin saja dapat dilakukan oleh penuntut umum, karena batas waktu selambat-lambatnya tujuh hari belum terlewatkan mengingat sampai saat ini belum dijadwalkan kapan sidang pertama kasus itu akan dilaksanakan. Jadi perubahan untuk tidak melanjutkan penuntutan terhadap kasus ini secara prosedur masih terbuka lebar, tentunya dengan alasan-alasan yang sah menurut hukum.

Kedua, lalu apa kewenangan penuntut umum dalam hal tidak melanjutkan penuntutan terhadap kasus Novel. Melihat isi Pasal 140 (2) huruf a sebagaimana disebutkan di atas, jelas bahwa penuntut umum diberikan kewenangan untuk menghentikan penuntutan apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum. Lalu, dapatkah penutut umum menghentikan penuntutan sesuai dengan alasan-alasan tersebut.

Jika alasan penuntut umum menghentikan penuntutan terhadap kasus Novel dengan alasan karena tidak terdapat cukup bukti. Maka menjadi pertanyaan besar, karena selama ini, baik dari pihak kepolisian sendiri maupun dari pihak korban, bukti terhadap perkara ini dianggap telah cukup. Bahkan kita melihat tayangan disalah satu televisi swasta dijelaskan secara gamblang bagaimana cara Novel melakukan penganiayaan terhadap si korban. Kedua, apabila alasan tidak terdapat cukup bukti dijadikan alibi untuk menghentikan kasus Novel, mengapa sebelumnya kejaksaan tidak mengembalikan berkasnya kepada penyidik untuk dilengkapi. Dengan demikian dapat dideskripsikan bahwa artinya kasus itu telah P21. Jadi penghentian penuntutan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti untuk kasus dengan tersangka Novel Baswedan, sangat tidak mungkin untuk dilakukan.

Jika penghentian penuntutan kasus Novel dengan dasar bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, sulit kita untuk menerimanya. Bagaimana itu bukan tindak pidana jika kepolisian sendiripun telah yakin bahwa alat bukti telah cukup, korban yang telah mengaku, dan beberapa rekan dari Novel sendiri yang bersaksi, terlebih bahwa kasus tersebut telah P21. Jadi, apabila penghentian penuntutan kasus Novel karena peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, sangat tidak mungkin untuk dilakukan.

Lalu bagaimana jika penghentian penuntutan dengan alasan demi hukum, apa klasifikasinya. Sedangkan alasan demi hukum sampai saat ini masih menjadi perdebatan, apa makna demi hukum tersebut. Bagir Manan (Mantan Ketua MA) menyatakan demi hukum artinya adalah demi kepentingan tujuan hukum, contohnya ketertiban umum, atau rasa keadilan. Bila kasus tersebut dipaksakan, dikhawatirkan tujuan hukum tidak akan tercapai. Lain Bagir Manan, lain lagi M. Yahya Harahap, ia menggunakan alasan yang cukup simpel untuk menafsirkan makna demi kepentingan hukum, yaitu bila tersangka meninggal dunia, nebis in idem, dan perkaranya telah daluwarsa. Hal yang sama juga disampaikan oleh Moch. Faisal Salam (mantan Oditur Militer) Oleh karena itu dengan melihat komentar yang disampaikan M. Yahya Harahap, penghentian penuntutan demi hukum, sangat tidak masuk akal untuk dilakukan, kecuali dengan menunggu berlama-lama didiamkan sampai kasus tersebut memasuki masa daluwarsa.

Lalu bagaimana sebaiknya cara menyikapi kasus Novel Baswedan. Salah satu asas dalam penuntutan adalah asas oportunitas, dimana ada kewenangan untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi di  instutusi kejaksaan. Apa yang dimaksud kepentingan umum. Dalam penjelasan Undang-Undang Kejaksaan dijelaskan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut  merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Menurut Penulis, jika kejaksaan berniat untuk menghentikan kasus Novel Baswedan, maka tidak ada jalan lain selain dengan menggunakan kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Agung yaitu dengan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Setidaknya ada beberapa alasan, pertama, apabila dalil yang digunakan dalam penghentian kasus Novel dengan dasar Pasal Pasal 140 (2) huruf a KUHAP karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum (apapun pengertian ditutup demi hukum) yang dimiliki oleh penuntut umum, kita dapat merujuk ke Pasal 140 ayat (2) huruf d, bahwa suatu saat perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila ditemukan alasan-alasan yang baru. Kedua, terlepas benar tidaknya kasus ini, tapi jelas bahwa diangkatnya kasus Novel ini adalah karena ada sesuatu yang melingkarinya. Begitu miris kita melihat apabila kasus tersebut dibuka tutup kembali karena seolah-olah ada “kepentingan” yang memaksa didalamnya.

Dengan demikian tidak ada cara lain bagi institusi kejaksaan, selain dengan menyerahkan kasus Novel Baswedan ini kepada Jaksa Agng dengan keweanngan yang dimilikinya agar perkara tersebut dapat dikesampingkan demi kepentingan umum dan tidak akan pernah untuk dibuka kembali. Demikian juga mungkin dapat dilakukan terhadap kasus yang membelit mantan komisioner KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

ByAdmin

Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Begal

pas foto

Oleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Batampos (11 Maret 2015). Selagi dunia masih ada dan bumi masih utuh, rasanya kejahatan memang tak akan pernah sirna dari muka bumi. Setiap hari tak henti-hentinya oleh media massa kita disuguhi berbagai macam tayangan-tayangan yang membuat miris. Dari mulai kejahatan korupsi yang tak pernah pergi dari republik ini, malpraktek oleh tenaga medis, tindakan asusila terhadap anak-anak dan kejahatan-kejahatan lainnya. Akhir-akhir ini, kita juga disuguhi oleh maraknya kejahatan begal yang membuat resah warga masyarakat Indonesia, tak terkecuali di Batam. Pelaku begal seolah bebas berbuat tanpa ada yang bisa menghentikannya, dan penegak hukumpun seolah kewalahan mengatasi persoalan yang terjadi. Padahal jika kita merenung, negara yang baik adalah yang mampu mengayomi dan mensejahterakan masyarakatnya. Tapi kenyataannya, jika kita melihat pemberitaan yang ada, korban yang dilakukan oleh pelaku begal semakin hari semakin bertambah, sehingga membuat masyarakat marah dan akhirnya melakukan tindakan dengan caranya sendiri dalam pemberantasannya, antara lain dengan cara menghajar beramai-ramai dan bahkan membakar tubuh pelaku begal.

Begal berarti orang atau beberapa orang yang melakukan pembegalan terhadap seseorang, dengan cara merampas dengan kekerasan dan atau ancaman kekerasan. Jika kita tilik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai lex generale, rasanya kita tidak akan melihat definisi terhadap kata “pembegalan”, pun juga kita tidak akan melihat apa itu tindak pidana pembegalan.

Lalu dengan melihat fakta di atas, bagaimana penegakan hukum terhadap begal, agar masyarakat kembali tenang dan aman dalam menjalankan aktifitasnya. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Ketika ketiga system hukum itu bersatu, maka penegakan hukum akan berjalan, namun sebaliknya, bila ketiganya terpecah belah, tidak menutup kemungkinan proses penegakan hukum juga akan terganggu.

  1. Struktur Hukum

Friedman mengatakan aspek pertama untuk tegaknya system hukum adalah struktur hukum. Struktur hukum adalah keseluruhan institusi perangkat hukum yang menjalankan ketentuan formal hukum pidana. Untuk mengungkap kejahatan dibutuhkan kepolisian, untuk melakukan penuntutan dibutuhkan kejaksaan, demikian juga untuk mengadili seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dibutuhkan hakim. Artinya mustahil terjadi penegakan hukum disuatu negara tanpa membentuk lembaga yang berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan hukum. Berkaitan dengan ini, ujung tombak penegakan hukum di Indonesia antara lain adalah  kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan juga petugas lembaga pemasyarakatan. Semua itu harus bersatu padu dalam menegakan hukum pidana, sehingga terwujudlah apa yang dinamakan Integrated Criminal Justice System. Kepolisian sebagai ujung tombak harus berperan aktif melihat fakta yang terjadi dimasyarakat. Melihat dampak dan ruang lingkupnya, mau tidak mau kepolisian harus membuat skala prioritas. Mana kejahatan yang saat ini betul-betul mendesak dan harus diberantas. Begal saat ini sudah luar biasa dampaknya, masyarakat menjadi cemas dan takut, karena tidak jarang mereka para pelaku akan melukai korbannya. Korban begalpun kebanyakan adalah masyarakat menengah kebawah, yang tidak jarang ketika menjadi korban, mereka sedang menjalankan aktifitasnya. Oleh karena itu, telah tiba waktunya aparat kepolisian, sebagai aparat hukum yang telah diberikan kewenangan oleh undang-undang, singsingkan lengan baju, bentuk tim terpadu dan satu kata untuk memberantas kejahatan, khususnya begal, sehingga penegakan hukum terhadap begal akan berjalan semakin efektif.

  1. Substansi Hukum

Ketika struktur hukum telah terbentuk dan bekerja maksimal dalam penegakan hukum, maka aspek kedua untuk menjaminnya penegakan hukum adalah substansi hukum. Substansi hukum mencakup keseluruhan norma dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan. Apakah norma-norma atau ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat mengakomodir kejahatan yang namanya begal? Karena bagaimanapun, dalam penegakan hukum harus mementingkan apa yang namanya asas legalitas. Nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali. Tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali ada undang-undang yang mengaturnya. Seperti diungkap di atas tadi, kalau kita lihat di KUHP, sebenarnya kita tidak melihat pengertian atau tindak pidana yang langsung menunjuk pada kata begal. Namun melihat situasi yang berkembang, pembegalan itu terjadi ketika ada perampasan terhadap barang dengan paksa, disertai kekerasan atau ancaman kekerasan, yang dilakukan oleh beberapa orang, bahkan terkadang korban mengalami luka-luka dan juga kematian. Lalu pertanyaannya dengan apa atau pasal mana Pelaku begal dapat dijerat secara hukum pidana? Coba kita tengok ketentuan hukum pidana kita. Pasal 365 KUHP ayat (1) menyatakan “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri”. Lalu Pasal 365 ayat (2) menyatakan dapat diancam pidana penjara 12 tahun jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dan juga mengakibatkan luka-luka berat. Kemudian jika mengakibatkan korban meninggal dunia, Pasal 365 ayat (3) pelaku diancam dengan pidana penjara 15 tahun. Bisakah kejahatan begal dijerat dengan Pasal di atas? Penulis menekankan bahwa pelaku begal akan sangat tepat jika dijerat dengan pasal tersebut. Karena banyak kasus terjadi, pelaku begal dalam menjalankan aksinya selalu disertai dengan kekerasan, ancaman kekerasan, lalu dilakukan oleh beberapa orang dan korbannya akan mengalami luka-luka bahkan kematian. Pada intinya, pembegalanpun pada dasarnya pencurian, namun karena cara melakukannya yang berbeda-beda, maka istilahnya menjadi lain. Banyak istilah lain yang pada dasarnya masuk kategori tindak pidana pencurian, namun dimasyarakat istilahnya menjadi berbeda, seperti penjambretan, perampasan, perampokan, ngutil, dan lain-lain. Dari ketentuan tersebut dengan jelas bahwa substansi hukum kita dapat menjangkau kejahatan yang namanya begal, tinggal penyidik jeli melihat unsur-unsur mana yang dapat terpenuhi, sehingga ancaman pidana yang diterapkan dapat sesuai dengan harapan masyarakat terutama korban begal.

  1. Budaya Hukum

Setelah struktur dan substansi hukum, unsur ketiga yang menjamin penegakan hukum adalah budaya hukum. Budaya hukum disini adalah menyangkut pandangan, pola pikir dan cara bertindak masyarakat secara keseluruhan, termasuk aparat hukumnya. Sebaik apapun kondisi dan penataan struktur hukum serta substansi hukum, tanpa adanya budaya hukum yang mendukung, maka penegakan hukum tidak akan berjalan efektif. Sebagai contoh penegakan hukum terhadap perjudian, sebaik apapun kerja aparat hukum dan ketentuan hukumnya, ketika sebagaian masyarakat masih menganggap perjudian sebagai hal lumrah, maka penegakan hukum terhadap kejahatan perjudian tak akan pernah habis. Demikian juga halnya dengan begal, masyarakat hendaknya berperan aktif demi tegaknya hukum. Friedman menyatakan “Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea)”. Itulah pentingnya budaya hukum, budaya hukum yang dimaksud tentunya, tindakan atau cara pandang masyarakat yang mendukung kerja aparat penegak hukum, sehingga pemberantasan kejahatan yang namanya begal menjadi lebih efektif. Cara pandang atau perilaku masyarakat yang mendukung dalam penegakan hukum, berarti jalannya penegakan hukum akan menjadi efektif, demikian pula sebaliknya, ketika pola, tindakan dan cara pandang masyarakat menghambat penegakan hukum, maka jalannya penegakan hukum juga akan menjadi terganggu. Melaporkan setiap kejahatan yang terjadi, bersedia menjadi saksi, tidak main hakim sendiri adalah salah satu dari tindakan masyarakat yang dapat mendukung penegakan hukum. Demikian juga aparat penegak hukumnya, tangkap semua pelaku-pelaku yang masih berkeliaran dimasyarakat, lakukan operasi-operasi dijalanan yang dianggap rawan memungkinkan terjadinya tindak kejahatan, juga merupakan satu cara yang dapat dilakukan untuk memberantas kejahatan begal.

Ketiga aspek di atas itulah yang menurut hemat penulis, ketika semua bersinergi, maka penegakan hukum terhadap begal akan lebih maksimal. Maksimal dalam arti tujuan dari system peradilan pidana akan tercapai, yakni mengadili pelaku kejahatan, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan dalam jangka panjang akan tercipta kesejahteraan masyarakat.

ByAdmin

Menilik Putusan Praperadilan Hakim Haswandi Versus UU KPK

pas foto

Oleh : Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Batampos, Kolom Opini. Indonesia saat ini boleh dikatakan sedang dalam tahap Over News, dimana berita di tanah air tidak henti-hentinya berproses. Komjen Budi Gunawan belum usai, kasus Novel Baswedan menyeruak, diiringi dengan munculnya prostitusi online plus prostitusi yang melibatkan beberapa artis, lalu tak lama kemudian muncul beras plastik, dan sekarang ini yang paling menarik, kalahnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)  dalam gugatan Praperadilan yang dilakukan oleh Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo.

Hakim praperadilan dalam perkara itu, Haswandi, dalam putusannya, salah satu poin pertimbangannya adalah bahwa secara administrasi penyelidik dan penyidik KPK dalam kasus Hadi Poernomo adalah tidak sah. Hakim menjelaskan bahwa penyelidik dan penyidik KPK sesuai dengan UU KPK haruslah berstatus sebagai penyelidik atau penyidik di instansi sebelumnya baik itu Polri atau Kejaksaan. Sedangkan penyelidik dalam kasus Hadi Poernomo yaitu Dadi Mulyadi dan dua penyelidik lainnya, bukan merupakan penyelidik sebelum diangkat menjadi penyelidik KPK, maka, tindakan penyelidikan yang dilakukan tidaklah sah. Sementara itu Ambarita Damanik, penyidik yang menangani kasus Hadi, merupakan penyidik Polri yang sudah diberhentikan secara hormat dari institusi Polri pada 25 November 2014. Dengan pemberhentian tersebut, hakim berpendapat bahwa Ambarita juga sudah kehilangan status penyidik yang melekat pada dirinya sehingga segala tindakan penyidikan yang dilakukan olehnya dianggap batal demi hukum.

Memang dalam KUHAP disebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat Polri, sedangkan Penyidik adalah Polri dan PPNS. Lalu muncul pertanyaan, apakah penyelidik dan penyidik KPK itu harus selalu dari Polri, dan jika bukan, bertentangankah dengan KUHAP?

Pertama, dalam hukum pidana dikenal asas Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki). Lebih tinggikah KUHAP sehingga harus mengesampingkan UU tentang KPK. KUHAP merupakan produk hukum jaman orde baru dengan nama lengkap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sedangkan UU tentang KPK adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dari namanya saja kita dapat melihat bahwa keduanya merupakan ketentuan yang sama, yakni undang-undang yang artinya keduanya sama-sama dibentuk oleh DPR bersama Pemerintah. Berlaku asas seperti tersebut di atas ketika suatu peraturan perundang-undangan yang sifatnya vertikal, sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu kedua ketentuan tersebut (KUHAP dan UU KPK) adalah sejajar, tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah. Menurut hemat Penulis jika hakim menyandarkan bahwa penyelidik dan penyidik di KPK tidak sah dengan dalih melanggar ketentuan Pasal 1 KUHAP, adalah keliru.

Kedua, ada asas juga yang berbunyi Lex specialis derogat legi generali, adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa ketentuan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum. KUHAP merupakan hukum acara pengganti Het Herziene Inlandsch Reglement, yang mengatur ketentuan pidana formil dan menjadi patokan para aparat penegak hukum dalam menegakan hukum dan keadilan. KUHAP tidak hanya mengatur satu institusi, namun mengatur secara global dan umum institusi penegak hukum yang terjalin dalam suatu system yang bernama system peradilan pidana, salah satunya subsistem kepolisisan yang didalamnya berisi penyelidik dan penyidik yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Sementara itu, UU KPK lahir bahwasanya maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi sehingga harus dibentuk lembaga yang namanya KPK yang kebetulan sesuai amanah undang-undang salah satu wewenang yang dimilikinya yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Berbeda dengan penyelidik dan penyidik Polri yang wewenangnya lebih luas,meliputi seluruh tindak pidana,  penyelidik dan penyidik KPK hanya berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan  terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang berhubungan dengan korupsi. Dengan kata lain, walaupun keduanya sama-sama penyelidik dan penyidik, namun berbeda dari segi perbuatan pidana yang ditanganinya. Jelas kita mengatakan bahwa dengan lahirnya UU KPK, lahir ketentuan yang sifatnya lebih khusus dibandingkan KUHAP yang sifatnya lebih umum.

Lalu bagaimana dengan pertimbangan hakim Haswandi bahwa penyelidik itu harus dari Polri sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Sesuai dengan asas hukum Lex specialis derogat legi generali di atas, menurut hemat penulis keliru jika penyelidik dan penyidik KPK itu harus dari Polri. Justru sebaliknya, dengan lahirnya UU KPK, maka ketentuan apapun yang ada didalamnya telah mengesampingkan ketentuan yang ada didalam KUHAP. UU KPK sebagai ketentuan khusus mau tidak mau harus mengesampingka apa yang telah diatur dalam KUHAP sebagai ketentuan umum. Dalam UU KPK jelas mengatakan bahwa penyelidik dan penyidik pada KPK adalah penyelidik dan penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Frase kata “mengangkat” tentunya bahwa KPK juga berwenang mengangkat pegawainya secara independen tanpa harus berasal dari Polri maupun kejaksaan. Betul bahwa disana ada kata-kata penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK. Namun itu bukan suatu alasan bahwa semua pegawai KPK harus berasal dari instansi yang namanya Polri dan kejaksaan. Penulis berpendapat itu hanya sekedar bahwa pada awal berdirinya KPK, untuk memkasimalkan dan mengefisienkan waktu tidak mungkin pada saat itu merekrut pegawai baru, maka jalan keluarnya adalah dengan mengambil penyelidik dan penyidik dilembaga yang telah ada yakni Polri dan kejaksaan dengan syarat harus diberhentikan sementara. Oleh karena itu pengangkatan penyelidik dan penyidik oleh KPK adalah sah berdasarkan ketentuan UU 30 Tahun 2002.

Dengan adanya putusan hakim Haswandi bahwa penyelidik itu harus dari Polri, maka telah mendelegitimasi institusi-institusi lain yang mempunyai ketentuan lebih khusus. Sebagai contoh bagaimana dengan lembaga KOMNAS HAM? Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang hukum acara atas pelanggaran HAM berat, dikatakan bahwa Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan jika terjadi dugaan pelanggaran HAM berat. Apakah penyelidik KOMNAS HAM mulai saat ini juga tidak berwenang melakukan tugas dan wewenangnya?

Dalam putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 21/PUU-XII/2014, yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan, pada halaman 105 dan 106 putusan tersebut adalah mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka mengumpulkan alat bukti guna menemukan tersangkanya. Sedangkan untuk menentukan status tersangka terhadap seseorang, menurut MK harus ada 2 alat bukti. Jadi jelas bahwa pertimbangan MK memasukan penetapan tersangka dalam objek praperadilan tidak lain tidak bukan adalah untuk menilai sah atau tidaknya alat bukti yng didapat penyidik pada saat menetapkan sesorang menjadi tersangka. Alat bukti sah, maka penetapan tersangka pun sah, demikian sebaliknya, jika alat bukti tidak sah, maka penetapan tersangka terhadap seseorangpun menjadi tidak sah. Putusan hakim Haswandi yang mengugurkan status tersangka Hadi Poernomo bukan didasarkan pada pertimbangan sah atau tidaknya alat bukti yang didapat penyidik KPK untuk mentersangkakan Hadi Poernono, namun dengan mengambil pertimbangan lain yang telah keluar dari materi putusan MK.

ByAdmin

KETENTUAN PRAPERADILAN DALAM KUHAP

 

pas foto

Rustam (Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan)

Batampos (18 Februari 2015). Berita terbaru dan ter update saat ini adalah mengenai dikabulkannya gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Budi Gunawan melalui Tim Kuasa Hukumnya. Hal ini menarik untuk disikapi khususnya secara hukum acara pidana. Perlu  ditekankan bahwa, dalam hal ini Penulis tidak ada tendensius terhadap pihak manapun, namun Penulis akan mencoba menguraikan sesuai dengan kapabilitasnya terutama mengenai aturan-aturan yang ada mengenai Praperadilan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Diawal permohonan gugatan Praperadilan dilakukan, telah memunculkan persepsi yang bermacam-macam, terutama mengenai ‘apakah sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap seseorang’ dapat dikategorikan sebagai salah satu objek dalam Praperadilan. Tentu dengan adanya polemik ini, telah terjadi penafsiran hukum yang berbeda dari masing-masing pihak terutama yang terkait dalam masalah ini. Bagi tim kuasa hukum tentunya ini hal lumrah dalam pembelaan terhadap kliennya, sepanjang cara-cara yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada. Toh ini usaha dalam pembelaan yang dilakukan, pada akhirnya hakim yang memutuskan.

Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Bila kita melihat isi pasal di atas, menurut hemat penulis bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna  yang tanpa ada kesalahan, sehingga siapapun dia, termasuk aparat penegak hukum, dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap tindakannya terutama menyangkut dengan isi Pasal 77 di atas. Dan itu telah diatur dalam ketentuan undang-undang.

Intinya, bagi seorang tersangka, apabila merasa bahwa tindakan penangkapan atau penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap dirinya merupakan tindakan yang tidak sah, maka undang-undang memberikan hak kepada dirinya untuk melakukan permintaan pemeriksaan (atau bahasa yang sering dipakai adalah ‘gugatan’) atas tindakan tersebut kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 79 KUHAP). Lalu dalam Pasal 81 KUHAP jika seandainya telah terbukti bahwa tindakan penangkapan atau penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum merupakan tindakan yang tidak sah, maka tersangka ataupun pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi. Khusus mengenai ganti kerugian, lebih diperjelas lagi dalam Pasal 95 (2) KUHAP menyatakan sidang praperadilan juga dapat memutus tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri. Perlu diingat bahwa pra peradilan diajukan sebelum perkara tersebut masuk ke tahap pemeriksaan oleh pengadilan.

Demikian juga bagi penyidik atau penuntut umum ataupun pihak ketiga, apabila merasa bahwa penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan adalah merupakan tindakan tidak sah, dapat mengajukan permintaan pemeriksaan pada ketua pengadilan negeri (Pasal 80 KUHAP). Ini mengindikasikan bahwa penghentian penyidikan dan penuntutan tidak bisa dilakukan secara diam-diam, namun harus berdasarkan prosedur yang ada. Namun dalam buku karangan Kombes Pol (pnw) M. Karjadi dan AKBP (pnw) R. Soesilo dengan judul KUHAP dengan Penjelasan Resmi dan Komentar dijelaskan bahwa “penghentian penuntutan” seperti tersebut di atas tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Oleh karena itu menurut hemat penulis berdasarkan penjelasan tersebut, penyampingan perkara untuk kepentingan umum bukan merupakan objek dari gugatan praperadilan.

Lalu bagaimana proses pemeriksaan praperadilan sesuai KUHAP? Dalam KUHAP dijelaskan bahwa dalam pemeriksaannya hakim juga harus mendengarkan keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang. Pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari, hakim harus sudh menjatuhkan putusannya. Dalam Pasal 82 ayat (3) dijelaskan bahwa isi putusan hakim harus memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umm pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
  2. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
  3. dalam hal putusan penetapan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
  4. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda tersebut disita;

Dari beberapa uraian-uaraian di atas ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan, tentunya sekali lagi tanpa ada tendensius dan sentimental apapun terhadap pihak lain. Disini hanya mencoba menguraiakan lebih jauh tentang praperadilan seperti yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan Indonesia. Hal-hal yang ingin disampaiakan antara lain:

  1. Objek atau hal-hal yang dapat dijadikan permintaan pemeriksaan praperadilan adalah sudah tertera secara normatif sesuai dengan yang tertera dalam KUHAP. Dan dari sekian pasal-pasal yang ada, tidak ada satupun yang mencantumkan baik tersirat maupun tersurat tentang “sah atau tidaknya penetapan tersangka”;
  2. Dalam hukum pidana dijelaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Apakah hakim menafsirkan objek praperadilan dengan pernyataan tersebut? Tentunya itu menjadi kewenangan hakim sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun menurut penulis, menafsirkan suatu pasal-pasal tentunya tidak bisa secara sembarangan, apalagi seperti dalam Pasal 77 KUHAP yang secara kasat mata tidak ada ruang lagi bagi penafsiran. Mungkin akan berbeda halnya, jika seandaainya dalam Pasal 77 KUHAP terdapat ayat lainnya lagi yang menyatakan “sah atau tidaknya tindakan penyidikan dan penuntutan lainnya menurut hukum yang bertanggung jawab”. Seandainya ada ayat tambahan tersebut, hakim mungkin boleh dan sah-sah saja menafsirkan bahwa “sah atau tidaknya penetapan tersangka” termasuk dalam objek gugatan praperadilan. Namun faktanya, dalam Pasal 77 KUHAP tidak terdapat ayat tersebut.
  3. Dalam hal putusan praperadilan, dalam KUHAP (Pasal 82 (3)) ada beberapa kategori yang harus dimuat dan dapat menjadi acuan hakim dalam menetapkan putusannya. Penulis melihat, dari sekian kategori yang harus dimuat tersebut, tidak ada satupun poin yang menerangkan “dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penetapan tersangka tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka”.

Oleh karena itu Penulis berpendapat bahwa, gugatan praperadilan yang dilakukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan melalui Tim Kuasa hukumnya, jika dilihat secara langsung dalam aturan KUHAP yang menjadi acuan hukum acara pidana di Indonesia, sesungguhnya tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bahwa “sah atau tidaknya penetapan tersangka” menjadi objek praperadilan dalam aturan KUHAP. Maka, seharusnya hakim menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan. Biarlah nanti majelis hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan yang memutuskan, karena disitulah majelis hakim dapat menggali lebih dalam lagi termasuk apakah Komjen Pol Budi Gunawan termasuk penyelenggara negara atau bukan dan juga hal-hal lainnya, sehingga nantinya akan lahir putusan lepas, bebas ataupun malah dipidana.

Lalu dengan adanya kasus ini, apakah sekarang “sah atau tidaknya penetapan tersangka” telah menjadi objek dari gugatan praperadilan?