Daily Archive June 15, 2014

ByAdmin

WASPADA, LINGKUNGAN HIDUP BATAM TERANCAM

RUmbadi Dalle SH

Oleh: Rumbadi Dalle, S.H

Batam yang luasnya 617 km2  ditetapkan sebagai kawasan industri, alih kapal,  perdagangan, dan jasa. Jadi tak heran bila daerah yang berpenduduk 1,2 juta ini tumbuh dan berkembang pesat bidang ekonomi.

Berdasarkan data Bank Indonesia Perwakilan Kepulauan Riau dai Batam, asset perbankan hingga April tahun 2014 mencapai Rp.46,63  triliun . Indikasi bahwa perputaran uang di Batam  lancar.  Dan tingkat deflasi hanya 0,57 persen (m to m) atau 6,98 persen (yoy). Sedangkan tingkat deflasi Kota Batam 4,68 (mtm ), dan member andil deflasi Kepri sebesar  0,92npersen.

Sedangkan Kota Batam memberi andil  dalam hal tingkat inflasi akibat biaya rumah sakit. Pihak BI menyebut  andil  Batam terjadinya inflasi salah satunya kenaikan biaya inap di rumah sakit.  Tapi ini menindikasikan bahwa masyarakat mengeluarkan biaya untuk berobat. Pencemaran lingkungan  terutama air dan udara dapatberdampak buruk terhadap kesehatan manusia.

Penanganan limbah organic dan non-organik di Batam masih sebatas penanggulangan yang belum maksimal. Sebuah tempat penyimpanan sementara limbah organic dan non organic, baik cair  pun padat di Telaga Punggur, Batam, namun tempat tersebut terbakar beberapa waktu lalu yang hingga kini belum ada penggantinya, atau setidaknya tempat tersebut menyimpan limbah B3 sembarangan. Padahal penyimpanan limbah hanya selama 90 hari.

Sedangkan limbah rumah tangga di tempat pembuangan akhir di Telaga Punggur juga, pun belum dip roses secara baik. Perlunya daur ulang tidak hanya untuk mengurangi volume  sampah di situ, tapi juga mengurangi dampak buruk lainnya seperti terserap oleh air di sekitarnya, dan air tersebut merupakan tempat mandi , dan juga digunakan untuk minum. Bila sumur tercemar limbah B3 akibat resapan air, maka mahluk hidup yang minum air itu terkena racun, dan cepat atau lambat berdampak pada kesehatan.

Kerusakan lingkungan bukan semata-mata oleh  galian C ( penambangan pasir , dan/atau bauxite) tapi juga kerusakan lingkungan oleh senyawa kimia akibat industri. Dan ini paling berbahaya.

Mengapa limbah B3 ini menjadi ancaman bagi Batam ?. Ini bisa dilihat dari pemanfaatan barang bekas  dari Singapura dan Malaysia seperti ban bekas, alat-alat elektronik bekas dan kegiatan beragam industry penghasil limbah B3 tersebut. Sebab ban bekas sama halnya dengan plastic ‘kresek’ yang tidak terurai di dalam tanah. Selain itu Batam dijadikan tempat pembuangan limbah B3 yang menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup periode 2004-2008 ada kasus impor limbah B3,  salah satu perusahaan yang impor limbah B3 adalah PT.Jace Octavia Mandiri ( PT.JOM) dari Korea.

Padahal ada larangan importasi limbah B3 seperti tertuang dalam  Pasal 69 Undang-Undang  No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang bunyinya : “ Setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3”. Mengingat Indonesia merupakan Negara transit,  merupakan Negara eksportir limbah B3, dan Indonesia masih membutuhkan peningkatan kapasita Environmental Sound Management (ESM)  untuk limbah B3.

Mengapa dikatakan bahan berbahaya dan beracun (B3)?. Prof.Dr.Ir. Ing.Suharto, APU  menulis. Dewasa ini lebih dari 26 juta jenis  senyawa kimia beredar  di dunia yang pada gilirannya akan menimbulkan limbah kimia B3, sedangkan bahan kimia termasuk bahan berbahaya dan beracun hamper berjumlah 5.000 keluar masuk Indonesia. Limbah kimia B3 tidak hanya terdapat di pabrik melainkan juga di rumah tangga, garasi mobil, residu pestisida, residu pembersih alat dapur rumah tangga, residu pupuk tanaman hias di rumah tangga, residu cat dan thinner, dan residu kostik soda.

Limbah senyawa dioksin dan poly chloro biphenyl (PCB) merupakan salah satu contoh limbah kimia B3 yang mempunyai dampak mematikan manusia dan ancaman lain terhadap kehidupan ternak, ikan, dan hewan serta tumbuh-tumbuhan dan air tawar serta air laut. Struktur dioksan mirip dengan struktur kimia 1,4 dioxan merupakan wujud cair, tidak berwarna dan mudah terbakar pada suhu 56 0 Fahrenheit (F)  atau equivalent 13.33Celcius. Berwarna merah jika terbakar, peka terhadap udara.

Limbah kimia wujud padat bai B3 maupun limbah kimia non B3 seperti sampah rumah tangga, energy fosil minyak bumi,l batu bara, kebakaran hutan, dan komponen plastic dalam alat elektronik seperti computer, TV, tape recorder  yang jika dibakar dalam tungku pembakar akan menghasilkan senyawa dioksan. Senyawa dioksan dan furan disebut pula senyawa dioksin, karena mengandung senyawa khlor, brom, dan flour.

Anak-anak dibawah lima tahun (balita) dan anak-anak sekolah dasar sangat rentan terhadap limbah B3, khususnya terhadap perkembangan sel otak dan pertumbuhan badan anak-anak. Senyawa metilmerkuri akibat apa yang disebut peristiwa Minamata di Jepang-yang ketika itu di sana ada pabrik pengolaan ikan, ternyata menimbulkan senyawa metilmerkuri itu.

Sandblasting yang diproduksi oleh galangan kapal  menghasilkan debu yang juga merupakan senyawa kimia limbah B3.  Bila debu tersebut terbang ke udara, kemudian kembali ke bumi dan dihirup oelh manusia, maka akan menderita penyakit Pneumoconiosis. Penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru.  Penyakit pnemokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru. Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki banyak kegiatan industri dan teknologi, yaitu Silikosis, Asbestosis, Bisinosis, Antrakosis dan Beriliosis.

Sayangnya, kita belum begitu serius memperhatikan senyawa kimia B3 ini terutama sampah rumah tangga yang berserakan. Padahal di situ sumber penyakit, sebab misalnya membuang bateri bekas, atau menyimpan computer-komputer bekas.  Harus diingat, kesehatan adalah yang utama dalam hidup, hidup sehat dibangun dari diri sendiri, dan biaya berobat mahal, dan untuk membeli oksigen kemungkinan jutaan rupiah per botol, padahal  Allah SWT telah menganugerahkan udara bersih untuk kelangsungan hidup mahluk di muka bumi termasuk manusia. Oksigen gratis, kemudian menjadi tercemar akibat ulah manusia itu sendiri.

 

 

 

ByAdmin

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

SYARIFA YANA, S.H., M.H.

Dosen Program Studi Ilmu Hukum FH UNRIKA

 

SYarifa Yana Batam Independent Tumpukan sampah, penggundulan hutan, menipisnya lapisan ozon, kabut asap, polusi udara, pemanasan global, tumpahan minyak di laut, punahnya spesies tertentu merupakan beberapa contoh masalah-masalah lingkungan hidup. Dalam kaca mata hukum, masalah-masalah lingkungan tersebut dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan hidup.

Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sedangkan perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Perbuatan mencemari dan menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup merupakan kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung dapat membahayakan, karena dapat menimbulkan perubahan dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Dampak negatif dari menurunnya kualitas hidup adalah timbulnya ancaman terhadap kesehatan, kerugian ekonomi, menurunnya nilai estetika dan terganggunya sistem alami. Oleh karena itu, untuk melindunginya maka diperlukan penegakan hukum.

Salah satu upaya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah terhadap perlindungan lingkungan hidup adalah dengan mengundangkan sejumlah peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut pada umumnya masih mengandung pendekatan sektoral, seperti peraturan perundang-undangan di bidang kependudukan/ Permukiman, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Perairan, Perindustrian, Konservasi Sumber daya Alam, dan lain sebagainya.

Selain itu pemerintah juga mengundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Undang-undang ini merupakan pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang sebelumnya juga telah mencabut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. UUPPLH ini berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat komprehensif.

Dalam ketentuan UUPPLH, upaya penegakan hukum terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan menggunakan sarana hukum administrasi negara, hukum perdata, dan hukum pidana.

Dari ketiga bentuk sarana yang disediakan tersebut, penggunaan sarana hukum administrasi lah yang dianggap paling penting. Hal ini karena sarana hukum administrasi memiliki fungsi preventif terhadap kegiatan-kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan-persyaratan pengelolaan lingkungan.

Fungsi preventif diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan sesuai dengan wilayah kerja masing-masing, yaitu Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur dan Bupati/ Walikota. Jika berdasarkan fungsi pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka pejabat yang berwenang dapat menjatuhkan sanksi administrasi terhadap si pelanggar.

Sanksi administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Dalam UUPPLH, bentuk sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan bagi si pelanggar adalah teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda atas tiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan.

Sanksi-sanksi hukum administrasi tersebut dilakukan oleh pemerintah/ pejabat tata usaha negara terhadap para pelanggar hukum lingkungan administrasi. Persoalan akan timbul jika terjadi pelanggaran lingkungan tetapi pejabat tata usaha negara yang berwenang tidak menjalankan kewenangannya dalam menjatuhkan sanksi. Dengan kata lain, pejabat tersebut mendiamkan saja terjadinya pelanggaran bahkan secara diam-diam merestui kegiatan yang melanggar tersebut. Misalnya, sebuah rencana kegiatan usaha yang wajib melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tetapi ternyata kegiatan itu telah berdiri atau beroperasi tanpa melalui AMDAL dan pejabat yang berwenang ternyata tetap mengeluarkan izin usaha bagi kegiatan tersebut. Untuk itu, UUPPLH memberikan peluang kepada setiap orang untuk mengajukan gugatan tata usaha negara kepada pejabat pemerintah yang berwenang tersebut.

Dalam UUPPLH juga dimungkinkan untuk mengajukan gugatan perdata pada pelaku pencemar dan perusakan lingkungan hidup. Gugatan tersebut hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan (negosiasi, mediasi dan arbitrasi) yang dipilih dinyatakan tidak berhasil. Gugatan perdata dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup. Bentuk sanksi hukum perdata yang dapat dimintakan dalam gugatan adalah ganti kerugian dan tindakan tertentu. Gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum dapat diajukan oleh warga masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga Pemerintah.

UUPPLH juga memuat sarana hukum pidana dalam ketentuannya, yaitu dengan merumuskan ketentuan pidana yang bersifat delik materil dan delik formil. Delik materil adalah delik yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangannya adalah akibat yang dilarang. Sedangkan pada delik formil, inti larangannya adalah melakukan suatu perbutan tertentu yang dilarang.

Pemberlakuan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana, baik orang perseorangan, pejabat berwenang yang tidak melakukan tugasnya, maupun badan usaha (korporasi). Bentuk sanksi pidana yang dapat diterapkan adalah berupa pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan atau tindakan tata tertib.

Tindakan tata tertib yang dapat dijatuhkan adalah berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebahagian tempat usaha atau kegiatan, perbaikan akibat tindak pidana, pewajiban melakukan apa yang dilalaikan tanpa hak dan penempatan perusahaan di bawah pengampuan pemerintah paling lama 3 (tiga) tahun.

Untuk pelaku tindak pidana yang berbentuk korporasi, tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan pada badan usaha, orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pimpinan kegiatan dalam tindak pidana tersebut, dan juga dapat dijatuhkan pada pengurus atau pimpinan badan usaha tersebut.